Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Akar-akar Konflik Etnis di Dunia

 Akar-akar Konflik Etnis di Dunia

 Akar-akar Konflik Etnis di Dunia. Biasanya, orang beranggapan bahwa konflik etnis lebih disebabkan oleh robohnya rezim otoriter tertentu, yang kemudian mendorong pihak-pihak di dalam suatu negara tertentu untuk saling berebut kekuasaan. Seolah-olah tekanan yang lama menindas mereka kini sudah hancur, sehingga dendam lama, terutama dendam akibat konflik di masa lalu, kini tampil ke depan. Banyak ahli yang berpendapat, bahwa penjelasan ini tidaklah memadai. Argumen ini tidak bisa menjelaskan, mengapa di beberapa tempat yang satu terjadi konflik, sementara di tempat lain tidak. Argumen ini juga gagal menjelaskan, mengapa konflik yang satu memiliki skala kekejaman yang lebih besar daripada konflik lainnya. Dengan kata lain, akar-akar penyebab konflik etnis tidak bisa dikembalikan hanya kepada satu faktor penyebab saja.

Di dalam tulisannya, Brown mengajukan tiga level analisis untuk memahami akar-akar penyebab konflik etnis. Level pertama adalah level sistemik. Level kedua adalah level domestik, dan level ketiga adalah level persepsi.

Level sistemik


Penyebab pertama terjadinya konflik etnis adalah lemahnya otoritas negara, baik nasional maupun internasional, untuk mencegah kelompok-kelompok etnis yang ada untuk saling berkonflik. Otoritas yang ada juga sangat lemah, sehingga tidak mampu menjamin keselamatan individu-individu yang ada di dalam kelompok tersebut. “.. di dalam sistem dimana tidak adanya penguasa”, demikian tulis Brown, “ yakni, dimana anarki berkuasa, semua kelompok haruslah menyediakan pertahanan dirinya sendiri-sendiri…”Setiap kelompok resah, apakah kelompok lain akan menyerang mereka, atau ancaman dari kelompok lain akan memudar dengan berjalannya waktu. Masalahnya adalah, sikap pertahanan diri suatu kelompok, yakni dengan memobilisasi tentara dan semua peralatan militer, bisa dianggap sebagai tindakan mengancam oleh kelompok lainnya. Pada akhirnya, hal ini akan memicu tindakan serupa dari kelompok lain, sekaligus meningkatkan ketegangan politis di antara dua kelompok tersebut. Inilah yang disebut Brown sebagai dilema keamanan (security
dilemma). Artinya, suatu kelompok seringkali tidak menyadari dampak dari tindakannya terhadap kelompok lainnya. Memang dalam banyak kasus, suatu kelompok menyadari dilema keamanan ini. Akan tetapi, mereka tetap bertindak, karena mereka sendiri merasa terancam oleh tindakan dari kelompok lain. Inilah yang biasanya terjadi pada masyarakat pasca rezim otoriter. Penguasa tunggal sudah roboh, dan kini setiap kelompok harus berusaha menjaga eksistensinya masing-masing, dan itu seringkali dengan mengancam eksistensi kelompok lainnya.

Brown lebih jauh menambahkan, bahwa ada dua kondisi yang memungkinkan terjadi ketidastabilan politis. Pertama, kondisi ketika pihak yang menyerang dan pihak yang bertahan tidak lagi bisa dibedakan. Suatu kelompok tidak lagi bisa menentukan, apakah mereka dalam posisi bertahan, atau posisi menyerang. Mereka akan mempersiapkan kekuatan militernya yang digunakan untuk bertahan. Akan tetapi, kelompok lainnya akan mengira, bahwa kelompok tersebut sedang mempersiapkan kekuatan militernya untuk menyerang. Ketegangan antara kedua kelompok pun tidak lagi terelakkan.

Kedua, jika kekuatan penyerangan lebih besar dari kekuatan bertahan, maka suatu kelompok akan cenderung untuk melakukan penyerangan terlebih dahulu. Menurut Brown, kedua kondisi ini biasanya muncul, ketika rezim otoriter yang berkuasa tiba-tiba roboh, dan ini membuat setiap kelompok yang ada di dalam masyarakat tersebut terpaksaberusaha untuk mempertahankan eksistensinya masing-masing. Di dalam situasi ini, siapa pihak yang menyerang dan siapa pihak yang bertahan amatlah sulit untuk dibedakan. Biasanya, kelompok-kelompok yang saling bertempur pasca jatuhnya suatu rezim otoriter tidak menggunakan teknologi perang yang canggih. Mereka hanya bersandar pada kekuatan infanteri. Efektivitas infanteri tersebut bersandar pada kekuatan motivasi dan kuantitas pasukan. Mobilisasi infanteri dari suatu kelompok tertentu, menurut Brown, biasanya akan mendorong kelompok lainnya untuk melakukan hal yang sama.

Level analisis Domestik


Level ini mengenai akar-akar penyebab konflik etnis berada di level domestik. Menurut Brown, level domestik ini terkait dengan kemampuan pemerintah untuk memenuhi kehendak rakyatnya, pengaruh nasionalisme dan relasi antar kelompok etnis di dalam masyarakat, serta pengaruh dari proses demokratisasi dalam konteks relasi antar kelompok etnis. Setiap orang selalu mengharapkan agar pemerintahnya menyediakan keamanan dan stabilitas ekonomi. Kedua hal ini akan bermuara pada terciptanya kemakmuran ekonomi yang merata di dalam masyarakat. Apa yang disebut nasionalisme, menurut Brown, sebenarnya adalah “konsep yang menggambarkan kebutuhan untuk mendirikan suatu negara yang mampu mewujudkan tujuan-tujuan ini.”

Tuntutan ini akan semakin besar, ketika pemerintah yang berkuasa tidak mampu mewujudkan cita-cita tersebut. Di dalam masyarakat pasca pemerintahan rezim otoriter, pemerintah yang berkuasa sedang mengalami proses adaptasi, dan seringkali belum mampu mewujudkan kestabilian ekonomi maupun politik. Akibatnya, tingkat inflasi dan pengangguran meningkat tajam. Prospek perkembangan ekonomi pun suram. Dalam banyak kasus, kelompok etnis minoritas menjadi kambing hitam dari semua permasalahan ini.  Mereka menjadi tumbal dari kekacauan yang terjadi.

Problem ini semakin rumit, ketika logika yang bergerak bukanlah lagi logika nasionalisme, melainkan logika fundamentalisme etnis. Begini, ketika pemerintah yang berkuasa sangatlah lemah, paham nasionalisme biasanya lebih didasarkan pada perbedaan etnis, dan bukan pada suatu pemikiran bahwa setiap orang yang hidup di suatu negara memiliki hak dan kewajiban yang sama. Pada hakekatnya, menurut Brown, paham nasionalisme didasarkan pada hak-hak universal dari setiap warga negara di dalam suatu negara, dan hak-hak tersebut dilindungi oleh hukum. Hukum yang sama juga melindungi kebebasan warga negara tersebut untuk menyampaikan pandangan-pandangan mereka. Akan tetapi, nasionalisme yang didasarkan pada fundamentalisme etnis tidak mengenali pandangan tersebut, melainkan lebih menekankan pada kesamaan etnis dan kultur.

Di sisi lain, paham nasionalisme yang didasarkan pada fundamentalisme etnis akan membuat suatu kelompok dapat dengan mudah memobilisasi massa, dan membentuk suatu pasukan yang memiliki motivasi berperang yang tinggi. Jika sudah seperti ini, kekuatan militer akan menjadi suatu kekuatan yang sangat kejam. Perang dengan skala kekejaman yang masif pun tidak lagi bisa terelakkan.

Di dalam penelitiannya, Donald Horowitz berpendapat bahwa proses demokratisasi institusi pemerintahan memiliki dampak besar bagi terjadinya konflik antar etnis.

Bahkan dapat pula dikatakan, bahwa proses demokratisasi secara langsung dapat menciptakan suasana ketidakstabilan politis yang lebih besar, dan dengan demikian justru membuka peluang lebih besar bagi terjadinya konflik antar etnis. Proses demokratisasi justru meningkatkan intensitas konflik etnis yang telah terjadi.

Level Persepsi


Beberapa ahli berpendapat, bahwa penyebab terjadinya konflik etnis adalah, karena adanya pemahaman sejarah yang tidak tepat mengenai relasi antara dua atau lebih kelompok etnis. Sejarah yang mereka yakini bukanlah hasil dari penelitian yang punya dasar metodis dan obyektivitas, melainkan dari rumor, gosip, dan legenda, yang biasanya diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Cerita-cerita tersebut kemudian menjadi bagian dari adat istiadat. Dengan berlalunya waktu, cerita-cerita ini semakin jauh dari realitas, dan semakin banyak bagian yang dilebih-lebihkan. Di dalam cerita-cerita tersebut, kelompok etnis lain seringkali memperoleh cap buruk, sementara kelompok etnis sendiri memperoleh nama baik yang seringkali berbeda dengan realitasnya. Kelompok etnis lain dipandang sebagai suatu kelompok yang secara inheren jahat dan agresif. Anggota kelompok etnis setempat memandang pemahaman ini sebagai suatu bentuk kebijaksanaan leluhur yang diturunkan ke generasi mereka.

Tidaklah mengherankan, bahwa cerita-cerita adat istiadat melibatkan suatu pertarungan wacana yang merupakan cerminan dari pandangan kelompok yang satu kepada kelompok lainnya. Orang-orang Serbia, misalnya, memandang diri mereka sendiri sebagai penjaga Eropa. Mereka juga memandang orang-orang Kroasia sebagai bangsa yang kejam. Di sisi lain, orang-orang Kroasia merasa bahwa mereka adalah korban dari kekejaman agresi orang-orang Serbia yang biadab. Di dalam cara pandang semacam itu, semua peristiwa yang terjadi akan meningkatkan intensitas kecurigaan yang sudah tertanam di dalam kultur masing-masing etnis. Dan semua kejadian negatif akan dipandang sebagai suatu afirmasi terhadap mitos yang sudah ada sebelumnya, sekaligus dipandang sebagai alasan untuk melakukan tindakan agresif. Hal inilah yang membuat konflik antar etnis sulit dihindari, dan jika terjadi, dampak destruktifnya akan sulit untuk diredam. Semua kepercayaan yang bersifat mitologis dan ideologis ini menciptakan tekanan yang semakin memperbesar skala
konflik. Konflik pun nantinya juga bisa semakin diperparah oleh propaganda para politikus yang ingin memanfaatkan kepercayaan ini untuk kepentingan-kepentingan mereka.

Problematika semacam ini biasa dialami oleh suatu masyarakat yang hidup pasca pemerintahan otoriter, yang seringkali memanipulasi sejarah demi untuk menciptakan mitos-mitos politik yang dapat mendukung kepentingan-kepentingan rezim. Rezim pemerintahan otoriter juga seringkali tidak memiliki basis ilmiah yang kuat untuk membuktikan mitos sejarah tersebut. Hal ini tentunya akan semakin memperkuat akar mitos politik yang ada di masyarakat, yang sangat mungkin menjadi faktor meningkatnya intensitas konflik antar etnis sampai pada skalanya yang paling masif.

Posting Komentar untuk " Akar-akar Konflik Etnis di Dunia"