Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Rohingya, Telaah konflik etnis di Myanmar

Rohingya, Telaah konflik etnis di Myanmar

Konstelasi politik internasional tahun 2012 masih diwarnai dengan konflik etnis yang melanda beberapa negara. Yang sedang hangat dibicarakan dan menuai respon dari PBB serta banyak negara adalah konflik etnis yang terjadi di Myanmar, yaitu antara Etnis Rohingya (Muslim) dan Etnis Rakhine(Budha). Hingar bingar berita tentang Muslim Rohingya timbul menyusul konflik sektarian yang terjadi antara etnis Rohingya yang sebagian besar adalah Muslim dan etnis Rakhine yang mayoritas merupakan penganut Buddha. Penyebab konflik itu sendiri tak begitu jelas. Namun, beberapa sumber menyebutkan bahwa kerusuhan itu merupakan buntut peristiwa perampokan dan pemerkosaan terhadap perempuan Rakhine bernama Ma Thida Htwe pada 28 Mei 2012. Kepolisian Myanmar sebenarnya telah menahan dan memenjarakan 3 orang tersangka pelaku yang kebetulan dua di antaranya adalah etnis Rohingya. Namun, tindakan itu ternyata tak cukup mencegah terjadinya kerusuhan di negara bagian Rakhine yang terletak di bagian barat Myanmar itu. Pada tanggal 4 Juni, terjadi penyerangan terhadap bus yang diduga ditumpangi pelaku pemerkosaan dan kerabatnya. Tercatat 10 orang Muslim Rohingya tewas. Sejak itu, kerusuhan rasial di Rakhine pun meluas.

Sebenarnya konflik antara etnis Rohingya dan Rakhine kerap terjadi sejak puluhan tahun silam. Apa sebenarnya akar masalahnya? Salah satu akar konflik menahun itu adalah status etnis minoritas Rohingya yang masih dianggap imigran ilegal di Myanmar. Pemerintah Myanmar tak mengakui dan tak memberi status kewarganegaraan kepada mereka. Sebagai akibat tiadanya kewarganegaraan, etnis Rohingya tak bisa mengakses pendidikan, layanan kesehatan, dan bahkan pekerjaan yang layak. Mereka betul-betul terabaikan dan terpinggirkan.

Pemerintah Myanmar tak mengakui kewarganegaraan etnis Rohingya karena menganggap kelompok Muslim ini bukan merupakan kelompok etnis yang sudah ada di Myanmar sebelum kemerdekaan Myanmar pada 1948. Hal itu ditegaskan kembali oleh Presiden Myanmar, Thein Sein, dalam Al Jazeera, 29 Juli 2012 bahwa Myanmar tak mungkin memberikan kewarganegaraan kepada kelompok Rohingya yang dianggap imigran gelap dan pelintas batas dari Bangladesh itu.

Akar konflik yang lain adalah adanya kecemburuan terhadap etnis Rohingya. Populasi etnis Muslim Rohingya dalam beberapa dasawarsa ini terus meningkat. Tentu saja, hal ini menyebabkan kecurigaan dan kecemburuan pada etnis mayoritas Rakhine. Bagi mereka, keberadaan etnis Rohingya pun sangat mungkin dianggap kerikil dalam sepatu, yakni sesuatu yang terus mengganggu. Keberadaan etnis Rohingya dianggap mengurangi hak atas lahan dan ekonomi, khususnya di wilayah Arakan, Rakhine yang menjadi pusat kehidupan etnis Muslim ini.

Sejatinya Rohingya tidak tepat disebut “etnis” karena kata itu merupakan label politis yang digunakan untuk memperjuangkan keberadaan kelompok tersebut di Myanmar. Beberapa sejarawan Myanmar mengatakan bahwa nama Rohingya baru muncul pada tahun 1950-an, setelah kemerdekaan Myanmar. Lalu, siapa sebenarnya mereka?

Dalam catatan PBB, Rohingya hanya disebut sebagai penduduk Muslim yang tinggal di Arakan, Rakhine, Myanmar. Dari sudut kebahasaan, bahasa yang diklaim sebagai bahasa Rohingya sebenarnya termasuk ke dalam rumpun bahasa Indo-Eropa, khususnya kerabatb ahasa Indo-Arya. Lebih detail lagi, bahasa Rohingya dikategorikan sebagai bahasa-bahasa Chittagonia yang dituturkan oleh masyarakat di bagian tenggara Bangladesh. Sementara itu, kebanyakan bahasa di Myanmar tergolong rumpun Tai Kadal, Austroasiatik, atau Sino-Tibetan. Jadi, jelas bahwa kelompok etnis Rohingya merupakan keturunan etnis Bengali, khususnya sub-etnis Chittagonia yang tinggal di Bangladesh tenggara.

Permasalahan etnis Rohingya sering menjadi sorotan media internasional mulai dari pengungsian besar-besaran ke Bangladesh hingga insiden tenggelamnya kapal pengangkut pengungsi yang melibatkan angkatan laut Thailand.  Dan kini, terjadi konflik sektarian yang sangat mencemaskan antara etnis Muslim Rohingya dan penganut Budha di negara bagian Rakhine. Sentimen anti-Muslim di Myanmar telah berlangsung berabad-abad. Kulit etnis Rohingya yang lebih gelap membuat mereka mudah dikenali. Secara fisik dan budaya, mereka memang lebih mirip dengan orang-orang Benggali.

Badan Pengungsi PBB (UNHCR) memperkirakan 800.000 Rohingya hidup di negara bagian Rakhine di sebuah pegunungan Myanmar yang berbatasan dengan Bangladesh. Ribuan orang  mencoba untuk melarikan diri setiap tahun ke Bangladesh, Malaysia dan tempat lain di kawasan itu. Mereka mencoba melarikan diri karena hak-hak mereka yang ditindas karena kerja paksa dan penindasan.

SEJARAH ETNIS ROHINGYA


Dalam catatan PBB, Rohingya hanya disebut sebagai penduduk Muslim yang tinggal di Arakan, Rakhine, Myanmar. Dari sudut kebahasaan, bahasa yang diklaim sebagai bahasa Rohingya sebenarnya termasuk ke dalam rumpun bahasa Indo-Eropa, khususnya kerabatb ahasa Indo-Arya. Lebih detail lagi, bahasa Rohingya dikategorikan sebagai bahasa-bahasa Chittagonia yang dituturkan oleh masyarakat di bagian tenggara Bangladesh. Sementara itu, kebanyakan bahasa di Myanmar tergolong rumpun Tai Kadal, Austroasiatik, atau Sino-Tibetan. Jadi, jelas bahwa kelompok etnis Rohingya merupakan keturunan etnis Bengali, khususnya sub-etnis Chittagonia yang tinggal di Bangladesh tenggara.

Kemunculan pemukiman Muslim di Arakan sebagai cikal bakal kelompok Rohingya terlacak sejak zaman Kerajaan Mrauk U, khususnya pada zaman Raja Narameikhla (1430-1434). Setelah dibuang ke Bengal, Narameikhla lalu menguasai kembali Mrauk U berkat bantuan Sultan Bengal. Seiring dengan berkuasanya Narameikhla, masuk pula penduduk Muslim dari Bengal kewilayah Arakan, Rakhine. Dalam perkembangannya, jumlah pemukim Muslim dari Bengal terus bertambah, terutama ketika Inggris menguasai Rakhine. Karena kurangnya populasi di Rakhine, Inggris memasukkan banyak orang Bengali ke Rakhine untuk bekerja sebagai petani. Oleh karena itu, sampai saat ini pula, kebanyakan orang Rohingya bekerja di sector agraris.

Ketika Inggris melakukan sensus penduduk pada 1911, pemukim Muslim di Arakan sudah berjumlah 58 ribu orang. Jumlah itu terus bertambah pada tahun 1920-an ketika Inggris menutup perbatasan India, sehingga orang Bengali memilih masuk ke Rakhine. Sejak tahun-tahun ini pulalah mulai timbul konflik dengan penduduk local yang mayoritas merupakan penganut Buddha. Bertambahnya jumlah penduduk migrant membuat penduduk lokal khawatir

Istilah Rohingya


Lalu, benarkah istilah Rohingya baru muncul pada tahun 1950-an? Sejarawan Jacques P. Leider mengatakan bahwa pada abad ke-18 ada catatan seorang Inggris yang bernama Francis Buchanan-Hamilton yang sudah menyebutkan adanya masyarakat Muslim di Arakan. Mereka menyebut diri mereka “Rooinga”. Ada yang mengatakan bahwa istilah ini berasal dari kata "rahma" (rahmat) dalam bahasa Arab atau "rogha" (perdamaian) dalam bahasa Pashtun. Selain itu, ada pula yang mengaitkannya dengan wilayah Ruhadi Afghanistan yang dianggap sebagai tempat asal Rohingya.

Dengan demikian, lepas dari apakah Rohingya merupakan sebuah etnis atau tidak, dan apakah termasuk ke dalam etnisitas Myanmar atau tidak? Sudah jelas bahwa Rohingya merupakan komunitas migrant dari Bangladesh yang sudah ratusan tahun tinggal di  Arakan, Rakhine, Myanmar. Sebagai komunitas yang sudah lama menetap di sebuah wilayah yang kebetulan kini menjadi bagian dari negara Myanmar, tentu saja sudah selayaknya mereka mendapatkan hak-hak dasar mereka, terutama status kewarganegaraan. Meskipun demikian, sikap pemerintah Myanmar sudah jelas seperti yang disampaikan Thein Sein bahwa Myanmar tak mungkin memberikan kewarganegaraan kepada Rohingya. Namun, Myanmar menawarkan solusi berupa pengiriman ribuan orang Rohingya ke negara lain atau tetap tinggal di Arakan, tetapi berada di bawah pengawasan PBB. Jadi, kelihatannya etnis Rohingya masih belum bisa bernapas lega sampai beberapa tahun mendatang.

SIKAP PEMERINTAH MYANMAR


Pujian masyarakat internasional pada reformasi Myanmar harus benar-benar dicermati. Pasalnya, gembar-gembor reformasi di negara yang sebelumnya disebut Burma itu ternyata belum berpengaruh secara signifikan bagi etnis minoritas Rohingnya. Kelompok Muslim minoritas ini hingga saat ini tetap menjadi korban diskriminasi dan pemerasan di Myanmar. Diskriminasi pada warga Islam ini secara nyata terbukti dengan penolakan pemerintahan Presiden Thein Sein atas status etnis tersebut.Pemerintah Myanmar hingga kini belum mengakui etnis Rohingya sebagai warganya.

Pemerintah menganggap Rohingya sebagai migran ilegal dari Bangladesh. Badan Pengungsi PBB (UNHCR) memperkirakan 800.000 Rohingya hidup di negara bagian Rakhine di sebuah pegunungan Myanmar yang berbatasan dengan Bangladesh.  Ribuan orang mencoba untuk melarikan diri setiap tahun ke Bangladesh, Malaysia dan tempat lain di kawasan itu. Mereka mencoba melarikan diri karena hak-hak mereka yang ditindas karena kerja paksa dan penindasan. Mereka ini tidak memiliki kewarganegaraan dan sangat rentan terhadap diskriminasi dan pemerasan.

Permasalahan etnis Rohingya sering menjadi sorotan media internasional mulai dari pengungsian besar-besaran ke Bangladesh hingga insiden tenggelamnya kapal pengangkut pengungsi yang melibatkan angkatan laut Thailand.  Dan kini, terjadi konflik sektarian yang sangat mencemaskan antara etnis Muslim Rohingya dan penganut Budha di negara bagian Rakhine.

Sentimen anti-Muslim di Myanmar telah berlangsung berabad-abad. Kulit etnis Rohingya yang lebih gelap membuat mereka mudah dikenali. Secara fisik dan budaya, mereka memang lebih mirip dengan orang-orang Benggali. Ketika Myanmar merdeka pada 1947, etnis Rohingya tidak diakui sebagai salah satu etnis di Myanmar. Kebanyakan mereka bermigrasi dari India semasa pemerintahan Kolonial Inggris. Selama PD II, etnis Rohingya pun setia kepada Inggris yang menjanjikan mereka negara muslim sediri. Karena itulah etnis Rohingya dianggap sebagai musuh Jendral Aung San, ayah Aung San Suu Kyi.  Sampai sekarang, etnis Rohingya tidak mempunyai kartu identitas yang sah. Mereka tidak dapat membeli tanah atau rumah dan tempat tinggal mereka dapat diambil alih setiap saat. Pemerintah Myanmar menganggap Rohingya sebagai warga asing, sementara banyak warga lainnya menganggap mereka sebagai imigran gelap.

KONFLIK ETNIS ROHINGYA DAN ETNIS RAKHINE


Konflik yang melibatkan dua etnis ini tidak bisa dilepaskan dari faktor sejarah. Kata Rohingya berasal dari kata Rohang, yang merupakan nama lama dari negara bagian Arakan. Arakan dulunya merupakan sebuah negara independen yang pernah dikuasai secara bergantian oleh orang Hindu, Budha dan Muslim. Pada 1203 M, Bengali menjadi sebuah negara Islam,dan sejak saat itu pula pengaruh Islam mulai merambah masuk kewilayah Arakan. Hingga pada akhirnya pada 1430 M, Arakan menjadi sebuah negara Muslim.yang ditandai dengan diratifikasinya Perjanjian Yandabo menyebabkan Burma, Arakan dan Tenasserim dimasukkan ke wilayah British-India. Selama 350 tahun kerajaan Muslim berdiri di Arakan dan Umat Islam hidup dengan tenang. Namun pada 24 September 1784 M. Raja Boddaw Paya dari Burma menginvasi Arakan dan menguasainya. Pada 1824-1826 perang Anglo-Burma pertama pecah. Perang ini berakhir pada 24 Februari 1426. Tahun 1935 diputuskan bahwa Burma terpisah dari British-India tepatnya mulai tanggal 1 April 1937 melalui keputusan ini pula digabungkanlah Arakan menjadi bagian British-Burma. Hal ini bertentangan dengan keinginan mayoritas penduduknya yang beragama Islam dan ingin bergabung dengan India. Hingga pada akhirnya Arakan menjadi bagian Burma yang merdeka pada Tahun 1948.

Tidak seperti etnis lain yang setidaknya diakui warganegaranya oleh Myanmar, masyarakat Rohingya dianggap sebagai penduduk sementara. Sebagai “orang asing”, masyarakat Rohingya tidak diperbolehkan bekerja sebagai pengajar, perawat, abdi masyarakat atau dalam layanan masyarakat Mereka, dianggap sebagai orang-orang yang tak bernegara dan tidak diakui oleh pemerintah Myanmar.

Etnis yang terletak di Myanmar Utara ini terpinggirkan oleh pemerintahan junta militer dan di wilayah Rohingya, para pengajarnya biasanya berasal dari golongan etnis Budha Rakhine, yang seringkali menghalangi kesempatan untuk mendapatkan pendidikan bagi masyarakat Rohingya. Pemerkosaan dan kerja paksa adalah hal yang cukup lazim bagi etnis Rohingya di Myanmar. Tentara Myanmar kerapkali meminta uang dari mereka dan ketika mereka tidak dapat membayar, mereka akan ditahan dan disiksa. Masyarakat Rohingya juga mengalami penyiksaan secara religi. Hampir seluruh masyarakat Rohingya adalah beragama Islam. Dalam tiga tahun terakhir, setidaknya 12 Masjid di Arakan Utara dihancurkan, dengan jumlah terbesar di tahun 2006. Sejak 1962, tidak ada Masjid baru yang dibangun. Bahkan para pemimpin agama telah dipenjara karena merenovasi Masjid. Seorang pejabat senior Perserikatan Bangsa-Bangsa yang sering bertugas ke daerah-daerah krisis kemanusiaan Perlakuan rezim Burma terhadap kaum minoritas Muslim Rohingya, disebut-sebut “ seburuk-buruk perlakuan terhadap kemerdekaan manusia”. Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Kemanusiaan dan Koordinator Bantuan Darurat, Valerie Amos, menyatakan bahwa Rohingya dipandang sebagai salah satu komunitas paling tertindas di dunia.

AKAR PENYEBAB KONFLIK 


Presiden Myanmar Thein Sein, mengatakan 800 ribu penduduk Rohingya harus ditempatkan di sejumlah kamp dan dikirim (kembali) ke Bangladesh melalui perbatasan. Presiden Thein Sein menolak mengakui etnis Rohingya sebagai warga negara Myanmar. Pemerintah Bangladesh mengaku kewalahan dan tak mampu menerima limpahan pengungsi Rohingya di negerinya; bahasa kasarnya, menolak kedatangan etnis Rohingya dari Myanmar.

Kebijakan Myanmar itu dinilai para penggiat HAM sebagai pembersihan etnis. Laporan Amnesty International, Juli 2012, ada tindak kekerasan, pembunuhan, dan pemerkosaan, oleh pasukan keamanan Myanmar terhadap warga Rohingya yang beragama Islam di wilayah Rakhine, perbatasan Bangladesh - Myanmar. Akibatnya 53.000 Muslim Rohingya mengungsi mencari tempat aman.   Menurut data pemerintah Myanmar, kekerasan antara etnis Buddha dan Muslim di Rakhine sudah berlangsung sejak Juni 2012 lalu,  Muslim Rohingya  yang tewas mencapai 77 orang. Namun, para ahli yang dikutip oleh Press TV menunjukkan bahwa korban mencapai 600 orang. Jadi, bukan ratusan ribu orang, seperti beredar melalui jejaring sosial di Indonesia.

Menteri Luar Negeri Myanmar Wunna Maung Lwi mengatakan (dalam konferensi pers yang dihadiri Pelapor Khusus PBB Tomas Ojea Quintana), mengatakan, pemerintah Myanmar menerapkan tindakan maksimal untuk menghentikan kekerasan antar etnis di Rakhine; pertikaian yang terjadi Rakhine antara Etnis Rohingya dan etnis atau pun suku-suku setempat (asli/pribumi) Myanmar. Wunna Maung Lwi, membantah tuduhan bahwa aparat keamanan menyiksa dan menangkapi pengungsi Muslim Rohingya. Justru, mencoba meredakan kekerasan dan konflik di wilayah Rakhine tersebut. Myanmar menolak tuduhan beberapa pihak yang mengatakan bahwa petugas menggunakan kekerasan dan penganiayaan dalam mengatasi keadaan, tuduhan tersebut bertujuan untuk mempolitisir dan mengarahkan isu di Rakhine sebagai konflik agama.

Etnis Rohingya yang (di bawah oleh Inggris) dan datang dari Afghanistan, merupakan turunan para tentara (bayaran) feodal Inggris, untuk melawan perjuangan rakyat India merebut kemerdekaan. Mereka adalah para pemberani yang dibayar untuk melawan rakyat India. Dan ketika, Bangladesh berdiri sebagai Negara Merdeka, suku-suku tersebut masih belum banyak berubah, bahkan ditolak oleh Bangladesh sebagai bukan warga asli Bangladesh; mau kembali ke Afghanistan, terlalu jauh untuk melangkah, dan tak mungkin untuk dilakukan. Akibatnya, mereka menjadi orang-orang tanpa Negara.

Sebagai etnis yang di tolak sana-sini, tentu saja hanya dengan survive mereka bisa bertahan hidup. Dan dalam sikon seperti itu, muncul sifat sensitif, sikap pasrah menerima keadaan; serta reaktif dan perlawan terhadap apa dan siapa pun. Hal-hal itulah, yang kemudian menjadi akar konflik (dan kemudian meluas), sehingga menjadi konflik antar suku; dan berbarengan dengan itu, karena Rohingya mayoritas Muslim, sedangkan pemerintah dan warga Myanmar mayoritas Budha, maka  dijadikan sebagai konflik agama.

Dan semuanya itu, digunakan sebagai sentimen pertikaian antar agama, karena paling mudah di angkat secara politik dan ke kancah Internasional, (termasuk diinpor ke Nusantara menjadi isu agama dan pembataian terhadap umat Bergama oleh kuasa dan kekuasaan), plus bumbu-bumbu busuk dan kebusukan lainnya. Untuk memperjelas akar penyebab konflik, peneliti memilah akar konflik menjadi tiga bagian seperti dibawah ini.

Penyebab dari level Sistemik


Penyebab konflik dalam level ini bisa dijelaskan penyebab pertama terjadinya konflik etnis adalah lemahnya otoritas negara, baik nasional maupun internasional, untuk mencegah kelompok-kelompok etnis yang ada untuk saling berkonflik. Menurut R.J May, negara lemah dengan legitimasi kinerja yang lemah(terutama ditandai oleh Korupsi, Nepotisme dan salah urus) mudah dijangkiti konflik intern, dan dalam  hal masyarakat terpecah-pecah di sepanjang garis suku atau daerah, gerakan-gerakan kesukuan dan separatisme merupakan ancaman yang terus menerus ada pada keamanan negara.  Negara seluas 680 ribu km² ini telah diperintah oleh pemerintahan militer sejak kudeta tahun 1988. Negara ini adalah negara berkembang dan memiliki populasi lebih dari 50 juta jiwa. Ibu kota negara ini sebelumnya terletak di Yangon sebelum dipindahkan oleh pemerintahan junta militer ke Naypyidaw pada tanggal 7 November 2005.

Pada 1988, terjadi gelombang demonstrasi besar menentang pemerintahan junta militer. Gelombang demonstrasi ini berakhir dengan tindak kekerasan yang dilakukan tentara terhadap para demonstran. Lebih dari 3000 orang terbunuh.

Pada pemilu 1990 partai pro-demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi memenangi 82 persen suara namun hasil pemilu ini tidak diakui rezim militer yang berkuasa.

Kekacauan politik berlanjut dengan adanya gelombang protes yang cukup besar dari kalangan Biksu pada tahun 2007. Protes dimotori oleh para biksu budha di Myanmar. Pada awalnya para biksu menolak sumbangan makanan dari para jendral penguasa dan keluarganya, penolakan ini menjadi simbol bahwa para biksu tidak lagi mau merestui kelakuan para penguasa militer Myanmar. Aksi demo juga dipicu oleh naiknya harga BBM beberapa ratus persen akibat dicabutnya subsidi.

Demo melibatkan ribuan bikshu kemudian meletus diberbagai kota di Myanmar, para warga sipil akhirnya juga banyak yang mengikuti. Pemerintah Junta Militer melakukan aksi kekerasan dalam membubarkan demo-demo besar ini, Pagoda-pagoda disegel, para demonstran ditahan, dan senjata digunakan untuk membubarkan massa. Banyak biksu ditahan, beberapa diyakini disiksa dan meninggal dunia. Sepanjang Gelombang protes terjadi belasan orang diyakini menjadi korban, termasuk seorang reporter berkebangsaan Jepang, Kenji Nagai, yang ditembak oleh tentara dari jarak dekat saat meliput demonstrasi. Kematian warga Jepang ini memicu protes Jepang pada Myanmar dan mengakibatkan dicabutnya beberapa bantuan Jepang kepada Myanmar.

Aksi protes berakar dari permasalahan bahwa Etnis Birma, berasal dari Tibet, merupakan etnis mayoritas di Myanmar. Namun, etnis Birma adalah kelompok yang datang belakangan di Myanmar, yang sudah lebih dahulu didiami etnis Shan (Siam dalam bahasa Thai). Etnis Shan pada umumnya menghuni wilayah di sepanjang perbatasan Thailand-Myanmar. Sebelum etnis Birma datang, selain etnis Shan, sudah ada etnis Mon, yang menghuni wilayah selatan, juga dekat perbatasan dengan Thailand. Sebagaimana terjadi di banyak negara, di antara tiga etnis utama di Myanmar ini terjadi perang. Satu sama lain silih berganti menjadi penguasa di daerah yang dinamakan Birma, kini Myanmar.

Otoritas yang ada juga sangat lemah, sehingga tidak mampu menjamin keselamatan individu-individu yang ada di dalam kelompok tersebut. “.. di dalam sistem dimana tidak adanya penguasa”, demikian tulis Brown, “ yakni, dimana anarki berkuasa, semua kelompok haruslah menyediakan pertahanan dirinya sendiri-sendiri…”  Setiap kelompok resah, apakah kelompok lain akan menyerang mereka, atau ancaman dari kelompok lain akan memudar dengan berjalannya waktu.

Ternyata kekerasan di Myanmar terhadap suku minoritas itu terjadi sebelum demonstrasi dan pembebasan Aung San Suu Kyi.  Peristiwa di Rakhine ini menunjukkan bahwa penganiayaan tersebut justru disponsori oleh negara. Seperti dilansir oleh AFP, Lembaga Hak Asasi Manusia di New York, Amerika Serikat, menemukan, pemerintah Myanmar justru mendukung kampanye terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan kepada Rohingya.

Menurut Stewart Davies, juru bicara Kantor Koordinator Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA PBB) di Burma, Presiden Thein Sein mengatakan, Burma perlu menyelesaikan isu kewarganegaraan itu dengan cara yang positif dan memasukkan semua unsur masyarakat.

Akar penyebab konflik bisa berasal dari pihak luar yang memang sengaja untuk ikut terlibat didalam konflik tersebut. Nasib Muslim Rohingnya semakin mengkhawatirkan. Di negaranya sendiri dianggap sebagai illegal Citizens, dan di luar negara tidak diterima. Ribuan orang Muslim Rohingya menjadi korban pembantaian. Tidak hanya itu, presiden Myanmar, Thein Sein melontarkan pernyataan kontroversial mengusir Muslim Rohingya sebagai penyelesaian konflik bernuasa etnis dan agama di negara itu. Bahkan dia menawarkan kepada PBB jika ada negara yang bersedia menampung mereka.

Menurut Direktur Eksekutif Global Future Institute, Jakarta, yang terjadi di Arakan ini bukan hanya Muslim Cleansing, tapi juga Budha Cleansing. Menurut pengamat internasional ini, yang menjadi korban bukan hanya masyarakat  muslim maupun Budha, tapi juga terjadi benturan peradaban di Myanmar. Ada permainan korporasi tertentu yang berkolaborasi dengan Junta  militer Myanmar. Pemicunya mirip dengan Ambon, sebuah masalah kriminal yang kemudian dipolitisasi. Untuk itu harus dipahami skema besarnya. Yang sesungguhnya terjadi adalah Cleansing masyarakat.

Dari data yang ada, pada tahun 1988, muncul sistem baru di Myanmar. Walaupun rezim otoriter militer yang memimpin, tapi Myanmar menggunakan sistem pasar.  Ketika itu ada undang-undang baru yang namanya The Union of Myanmar Foreign Investment Law. Payung hukum ini adalah perlindungan terhadap sektor eksplorasi dan pengembangan sektor minyak dan gas alam yang melibatkan korporasi-korporasi asing. Pada kasus Arakan ini adalah pertarungan soal minyak dan gas bumi. Pada tahun 2005, perusahaan gas Cina menandatangani kontrak gas dengan pemerintah Myanmar untuk mengelola eksplorasi minyak. eksplorasi minyak dan gas bumi itu menjadi incaran bukan hanya Cina tapi juga AS. Apalagi Chevron leading bermain di situ, ada juga Petro China, Tiongkok Petroleum, Petronas Malaysia dan lain. Repotnya rezim militer ini memproteksi lewat undang-undang The Union of Myanmar Foreign Investment Law. Cina dan beberapa negara yang diluar AS dan Eropa Barat kelihatannya lebih unggul. Sementara AS ketinggalan.

Nah, yang menarik masalah Muslim di Arakan ini cenderung memberi ruang bagi pendekatan symmetric Bill Clinton yang diterapkan oleh Obama dan Hillary Clinton. Dengan dasar, "Konflik wilayah itu perlu advokasi hak asasi manusia yaitu LSM, jadi LSM perlu masuk." Dari pintu ini, mereka masuk dengan memakai konflik Islam dan Budha tersebut. Tapi tampak sasaran strategisnya adalah sama yaitu penguasaan minyak dan gas bumi. Yang disayangkan dalam rezim militer mulai dari Ne Win sampai sekarang ini yang seakan-akan sosialis negara justru pada dasarnya kapitalis negara. Sejatinya, dengan undang-undang The Union of Myanmar Foreign Investment Law, Myanmar pada dasarnya sedang mengarah pada pasar, tapi di bawah kendali penuh negara. Dan dia memproteksi korporasi-korporasi untuk berkolaborasi dengan penguasa. Tentu dengan segala bayaran sosialnya.

Penyebab dari level Domestik


Menurut Brown, level domestik ini terkait dengan kemampuan pemerintah untuk memenuhi kehendak rakyatnya, pengaruh nasionalisme dan relasi antar kelompok etnis di dalam masyarakat, serta pengaruh dari proses demokratisasi dalam konteks relasi antar kelompok etnis.

Menurut catatan sejarah, penderitaan etnis Rohingya dimulai sejak tahun 1978. Yaitu, ketika ada 300 ribu jiwa etnis Rohingya yang dipaksa mengungsi dari negerinya ke Bangladesh dan terlunta bertahun-tahun. Sejak 1991-1992, terjadi eksodus gelombang berikutnya. Tak hanya ke Bangladesh, gelombang eksodus juga terjadi ke negara Asean lainnya.  Namun, seringkali mereka tidak diterima oleh negara tujuan dan menjadi manusia perahu. Puluhan ribu dari mereka tewas dan banyak lagi mengungsi akibat kekejaman yang dipertontonkan oleh umat Budha dan pemerintah junta Myanmar. PBB sendiri menyebut Muslim Rohingya sebagai salah satu minoritas yang paling teraniaya di dunia.

Mayoritas, sekitar 53 juta, penduduk Myanmar beragama Budha , dan sisanya adalah minoritas Kristen (2,9 juta), Muslim (2,27 juta), dan sekitar 300 ribu Hindu. Tetapi, Muslim Rohingya secara berulang diperlakukan sewenang-wenang selama sejarah Burma. Para pengamat menganggap pembunuhan itu telah berlangsung secara sistematis dan dilembagakan sepanjang sejarah Burma. Muslim Rohingya -- yang terdiri dari berbagai etnis, India, Banglades, Cina, Arab, Persia dan Burma sendiri – tampaknya selama ini dianggap punya ‘dosa besar', yakni karena mereka adalah pekerja keras, sehingga banyak yang berhasil dalam perdagangan dan di dunia pendidikan.

Diskriminasi yang paling kentara adalah bahwa, pemerintah Myanmar hingga hari ini menolak mengakui kewarganegaraan Muslim Rohingya dan mengklasifikasikan mereka sebagai imigran ilegal, meskipun mereka telah tinggal di negeri itu selama beberapa generasi. Lembaga Hak Asasi Manusia PBB mendesak Myanmar untuk menghentikan kekerasan sekte di Rakhine. PBB meminta pemerintah Myanmar agar tidak menggunakan konflik sebagai alasan mengeluarkan minoritas Muslim Rohingya dari negara mereka.

Permasalahan etnis Rohingya sering menjadi sorotan media internasional mulai dari pengungsian besar-besaran ke Bangladesh hingga insiden tenggelamnya kapal pengangkut pengungsi yang melibatkan angkatan laut Thailand.  Dan kini, terjadi konflik sektarian yang sangat mencemaskan antara etnis Muslim Rohingya dan penganut Budha di negara bagian Rakhine. Sentimen anti-Muslim di Myanmar telah berlangsung berabad-abad. Kulit etnis Rohingya yang lebih gelap membuat mereka mudah dikenali. Secara fisik dan budaya, mereka memang lebih mirip dengan orang-orang Benggali.

Ketika Myanmar merdeka pada 1947, etnis Rohingya tidak diakui sebagai salah satu etnis di Myanmar. Kebanyakan mereka bermigrasi dari India semasa pemerintahan Kolonial Inggris. Selama PD II, etnis Rohingya pun setia kepada Inggris yang menjanjikan mereka negara muslim sediri. Karena itulah etnis Rohingya dianggap sebagai musuh Jendral Aung San, ayah Aung San Suu Kyi.  Hingga kini, etnis Rohingya tidak mempunyai kartu identitas yang sah. Mereka tidak dapat membeli tanah atau rumah dan tempat tinggal mereka dapat diambil alih setiap saat. Pemerintah Myanmar menganggap Rohingya sebagai warga asing, sementara banyak warga lainnya menganggap mereka sebagai imigran gelap.

Di tengah munculnya gelombang demokratisasi, Myanmar menghadapi tantangan yang besar. Lewat rezim militer pimpinan Jenderal Than Swee, di satu sisi kehidupan politik Myanmar memang kuat terutama soal keamanan, tapi di sisi lain seperti mekanisme berkenegaraan jelas menjadi tak sehat, otoritarianisme menyeruat, dan rakyat ditebari teror-teror penculikan, penahanan, dan bahkan pembunuhan.  Hal itu memang menjadi pemandangan umum di negara-negara yang dikuasai militer. Seperti juga pernah terjadi di Indonesia ketika dikuasai rezim militer Orde Baru, mekanisme berkenegaraan yang menakutkan pernah dirasakan oleh para mantan aktivis prodemokrasi.

Penyebab dari level Persepsi


Adanya pemahaman sejarah yang tidak tepat mengenai relasi antara dua atau lebih kelompok etnis. Sejarah yang mereka yakini bukanlah hasil dari penelitian yang punya dasar metodis dan obyektivitas, melainkan dari rumor, gosip, dan legenda, yang biasanya diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Cerita-cerita tersebut kemudian menjadi bagian dari adat istiadat. Dengan berlalunya waktu, cerita-cerita ini semakin jauh dari realitas, dan semakin banyak bagian yang dilebih-lebihkan. Di dalam cerita-cerita tersebut, kelompok etnis lain seringkali memperoleh cap buruk, sementara kelompok etnis sendiri memperoleh nama baik yang seringkali berbeda dengan realitasnya.

Kelompok etnis lain dipandang sebagai suatu kelompok yang secara inheren jahat dan agresif. Anggota kelompok etnis setempat memandang pemahaman ini sebagai suatu bentuk kebijaksanaan leluhur yang diturunkan ke generasi mereka. Tidaklah mengherankan, bahwa cerita-cerita adat istiadat melibatkan suatu pertarungan wacana yang merupakan cerminan dari pandangan kelompok yang satu kepada kelompok lainnya. Berbagai bentrokan yang terjadi antara kedua etnis menggambarkan betapa persepsi mereka tentang etnis yang dimilikinya berbeda.

Sejak kerusuhan pecah pada Juni 2012  lalu, hampir 200 orang dilaporkan tewas dari kedua belah pihak. Sementara 115.000 orang kehilangan tempat tinggal akibat konflik ini. Isu kewarganegaraan bagi etnis Rohingya merupakan isu peka di Myanmar, di mana kebanyakan orang dan pemerintah lebih cenderung menyebut mereka sebagai etnis Bengali. Istilah itu merujuk kepada pandangan yang menganggap mereka sebagai migran gelap dari Bangladesh, meskipun kenyataan, banyak di antara mereka telah tinggal di Myanmar secara  turun temurun.

Sentimen anti-Muslim di Myanmar juga telah berlangsung berabad-abad. Kulit etnis Rohingya yang lebih gelap membuat mereka mudah dikenali. Secara fisik dan budaya, mereka memang lebih mirip dengan orang-orang Benggali.  Sehingga persepsi tentang etnis Rohingya akan terus melekat di benak pemerintah dan etnik Budha Rakhine. Ada perselisihan paham sedikit saja akan memicu konflik yang besar.

DAMPAK  KONFLIK


Menurut Brown, setidaknya, ada tiga kemungkinan yang bisa terjadi sebagai akibat dari pecahnya konflik etnis, yakni terjadinya rekonsiliasi secara damai, perpisahan etnis secara damai, dan perang saudara.  Tampaknya dampak konflik etnis di Myanmar ini kemungkinan di opsi pertama yaitu terjadinya rekonsiliasi secara damai. Hal ini bisa dilihat ada indikasi itikad baik dari pemerintah Myanmar untuk mempertimbangkan hak-hak Rohingya.

Presiden Myanmar Thein Sein menjanjikan untuk memperhatikan hak-hak baru yang bisa didapatkan oleh warga etnis minoritas Rohingya. Tetapi Presiden Thein ragu untuk memberikan kewarganegaraan secara penuh untuk etnis Rohingya yang selama ini terdiskriminasi.

Keinginan Presiden Thein ini ditegaskannya dalam sebuah surat yang ia kirim kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tetapi Thein tidak memberikan janji, meskipun isi surat tersebut membuahkan peluang menjelang kedatangan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama. Isi surat Thein Sein, seperti dikutip Associated Press, Sabtu (17/11/2012), menyatakan bahwa "Pemerintahan kami telah mempersiapkan pertimbangan baru untuk isu yang tengah diperdebatkan saat ini. Termasuk, kewarganegaraan, izin kerja dan kebebasan untuk Rohingya”.

Setidaknya ada secercah harapan untuk segera mengakhiri konflik yang sudah berlangsung lama. Sayangnya, Thein belum mau memberikan kewarganegaraan penuh bagi etnis Rohingya. Padahal selama ini, etnis minoritas yang beragama Islam tersebut, kerap mendapatkan diskriminasi dari rakyat dan Pemerintah Myanmar. Meski sudah tinggal di Myanmar selama ratusan tahun, Rohingnya tetap dianggap warga tersingkirkan.

Pada tanggal 8 Nopember 2012 yang lalu, pemerintah Myanmar, menggelar operasi kependudukan untuk memverifikasi kewarganegaraan umat Muslim yang berada di Barat negara bagian Rakhine, yang terkoyak akibat konflik antara masyarkaat Buddha dan Muslim, sejak bulan Juni 2012 lalu.  Menurut  Jurubicara Pemerintah negara bagian Rakhine, Myaing Win operasi kependudukan dimulai di kotapraja Pauktaw. Nantinya operasi ini akan dilakukan diseluruh negara bagian Rakhine. Namun belum diketahui maksud dari kegiatan tersebut, apakah nantinya Pemerintah Myanmar akan memberikan status kewarganegaraan bagi etnis Rohingya yang belum mendapatkannya. Sejumlah wartawan di Myanmar, memastikan proses verifikasi berlangsung dengan baik, bahkan di wilayah terpencil seperti di pulau Sin Maw. Para petugas sensus terlihat telaten menyambangi rumah para warga Rohingya, dan mendata mereka satu persatu. Semoga ini menjadi langkah awal yang baik bagi keberadaan dan eksistensi Etnis Rohingya di tengah ketidakpastian yang dialaminya.

Referensi:

Anna Yulia Hartati, SIP, MA, Konflik Etnis Myanmar (studi eksistensi etnis rohingya ditengah tekanan pemerintah), 2013.

Posting Komentar untuk "Rohingya, Telaah konflik etnis di Myanmar"