Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dampak dari Konflik Etnis di Dunia

Dampak dari Konflik Etnis di Dunia

Dampak dari Konflik Etnis di Dunia. Apakah dampak yang ditimbulkan oleh konflik etnis bagi negara-negara sekitar dan bagi komunitas internasional secara keseluruhan? Menurut Brown, jawaban atas pertanyaan ini sangatlah tergantung pada jenis konflik yang terjadi, dan bagaimana alur konflik tersebut berlangsung.

Setidaknya, ada tiga kemungkinan yang bisa terjadi sebagai akibat dari pecahnya konflik etnis, yakni terjadinya rekonsiliasi secara damai, perpisahan etnis secara damai, dan perang saudara. Dengan kata lain, kelompok-kelompok yang berperang bisa setuju untuk hidup bersama secara damai, setuju secara damai untuk berpisah, atau terus berperang untuk menentukan siapa yang berhak menjadi penguasa atas semuanya.

Rekonsiliasi Damai


Dalam beberapa kasus, kelompok-kelompok etnis yang terlibat dalam ketegangan politis dapat tetap bekerja sama dalam kerangka politik dan hukum tertentu. Dalam ketegangan tersebut justru biasanya, hak-hak minoritas dan hak-hak individual akan diangkat ke dalam perdebatan, dan memperoleh pemaknaan yang baru. Austria, Belgia, dan Swiss telah banyak membuat perjanjian politis yang menjamin bahwa etnis-etnis yang berada di negara tersebut tidak terlibat di dalam aksi kekerasan, namun menempuh jalan dialog dan kompromi. Etnis Catalan, Galician, dan Basque di Spanyol telah berdamai setelah menempuh dialog berkepanjangan tentang hak-hak mereka. Walaupun sering berdebat, tetapi mereka tidak pernah jatuh ke dalam konflik etnis yang memiliki skala kekerasan masif. Pertentangan antara pemerintah India di satu sisi dan separatis Naga, Mizo, dan Gharo di sisi lain, telah berakhir dengan jalan dialog dan kompromi politis.

Ketika kelompok etnis yang saling berbeda pendapat dapat menyelesaikan pertentangan mereka melalui jalan dialog, maka pengaruh pertentangan tersebut sangatlah kecil bagi negara di sekitarnya, atau bagi masyarakat internasional secara keseluruhan. Jalan dialog biasanya juga akan mendapatkan dukungan besar dari komunitas internasional, sehingga walaupun saling bertentangan, tetapi hak-hak individu dan hak-hak kaum minoritas dapat tetap terjamin. Maksimal, jika jalan dialog berhasil, satu-satunya yang perlu dirancang ulang adalah perjanjian dagang antara komunitas yang saling bertentangan. Di luar itu, dampak yang dirasakan biasanya sangat kecil.

Perpisahan secara damai


Pada kasus-kasus lain, kelompok-kelompok etnis yang saling bertentangan tidak dapat merumuskan suatu perjanjian yang mampu menampung kepentingan semua pihak. Oleh karena itu, satu-satunya jalan yang dapat ditempuh adalah dengan memutuskan hubungan legal dan politis yang sudah ada sebelumnya. Pada beberapa kasus, seperti pada pecahnya Uni Soviet dan pecahnya Czechoslovakia, perpisahan legal-politis ini dapat bermuara pada terjadinya pertumpahan darah, walaupun skalanya tidaklah besar. Walaupun begitu, perpisahan legal-politis ini biasanya hanyalah di tataran makro saja. Pada tataran mikro, kelompok-kelompok etnis yang saling berperang merasa perpisahan tersebut akan mengancam totalitas identitas mereka, yang bermuara pada terancamnya pengaruh politis mereka di dunia internasional. Maka, walaupun terpisah secara legal-politis, kelompok etnis yang saling bertentangan biasanya tetap memiliki hubungan yang erat satu sama lain.

Walaupun begitu, perpisahan legal politis ini tetap membawa dampak besar bagi komunitas internasional. Setidaknya, menurut Brown, ada enam dampak yang langsung kelihatan .

Pertama, apa yang sebelumnya dianggap sebagai tapal batas dari negara tertentu, kini harus dipahami sebagai tapal batas dari negara lain, atau tapal batas milik komunitas internasional. Kedua, komunitas internasional juga harus memutuskan, apakah mereka akan mengakui kedaulatan dari negara yang baru, atau tidak. Jika jawabannya positif, maka bentuk dan mekanisme pengakuan kedaulatan atas negara baru tersebut haruslah dipikirkan lebih jauh. Ketiga, komunitas internasional juga harus memutuskan status keanggotaan negara baru tersebut di dalam organisasi-organisasi internasional, seperti European Community, ASEAN, atau PBB.

Keempat, perjanjian-perjanjian internasional yang melibatkan negara terkait juga harus dirumuskan ulang. Misalnya, perjanjian pengurangan penggunaan senjata strategis antara Uni Soviet dan Amerika Serikat haruslah dirumuskan ulang pada 1992, karena pecahnya Uni Soviet yang mengakibatkan terbentuknya empat negara, yakni Russia, Ukraina, Kazahkstan, dan Belarus. Keempat negara tersebut kini haruslah merumuskan pernjanjian ulang terkait dengan isu senjata strategis. Secara umum, komunitas internasional haruslah yakin, bahwa negara yang baru terbentuk akan mengambil bagian di dalam perjanjian internasional terkait dengan isu-isu yang penting.

Kelima, perjanjian ekonomi dan finansial juga haruslah dirumuskan ulang, yang juga berarti dibutuhkan suatu pendampingan ekonomi dan finansial yang intensif bagi negara yang baru terbentuk. Dan keenam, komunitas internasional juga harus juga harus melihat dampak dari terbentuknya negara baru tersebut bagi stabilitas regional dengan negara-negara sekitarnya, sekaligus dampaknya bagi keseimbangan kekuasaan di level internasional. Dampak ini sangatlah berpengaruh besar. Contoh yang paling jelas adalah pecahnya Uni Soviet. Dalam konteks ini, komunitas internasional harus memutuskan bagaimana mereka harus bersikap terhadap negara baru yang terbentuk, misalnya dalam hal aliansi persenjataan. Beberapa negara bekas Uni Soviet memutuskan untuk bergabung dengan NATO.

Banyak hal-hal di atas akan menjadi problem, baik sebelum maupun sesudah negara baru terkait resmi terbentuk. Dengan demikian, menurut Brown, komunitas internasional haruslah segera membuat keputusan mengenai keenam hal di atas secepat mungkin. Jika keputusan terlambat dibuat, maka kemungkinan akan terjadi kekacauan di negara baru tersebut, atau malah terjadi konflik etnis yang melibatkan kekerasan. Kestabilan dan keamanan internasional adalah taruhannya di sini.

Perang Saudara


Pada kasus-kasus lainnya, kelompok-kelompok etnis yang saling bertentangan tidak mampu membuat persetujuan bersama, baik dalam hal rekonsiliasi ataupun perpisahan legal politis secara damai. Banyak pertentangan antar etnis justru bermuara pada konflik yang melibatkan kekerasan pada skala yang masif. Tentu saja, motif-motif yang mengakibatkan terjadinya konflik ini beragam. Kelompok etnis minoritas bisa menuntut untuk membentuk negara mereka sendiri, atau menuntut otonomi politik dalam bentuk federal guna menentukan nasib mereka sendiri. Sebaliknya, kelompok etnis mayoritas biasanya hendak memperbesar kekuasaan mereka atas seluruh teritori, termasuk kekuasaan mereka atas kelompok minoritas.

Pada beberapa kasus, kelompok etnis minoritas kalah, dan pemerintah yang berkuasa berhasil mewujudkan tatanan politis yang mereka inginkan. Hal ini paling jelas di dalam kasus Tibet. Kasus-kasus semacam ini, menurut Brown, memiliki dampak sangat kecil bagi komunitas internasional, tepat karena status kekuasaan tidaklah berubah. Hal yang menjadi perdebatan biasanya adalah, apakah komunitas internasional akan memberikan tekanan politis kepada kelompok etnis mayoritas untuk menghormati hak-hak dasar kelompok etnis minoritas, atau tidak?

Pada kasus-kasus lainnya, kelompok etnis minoritas berhasil memberontak, dan membentuk negara mereka sendiri. Hal ini dapat dilihat pada kasus Bangladesh dan Slovenia. Jika hal ini terjadi, maka komunitas internasional juga harus menghadapi enam konsekuensi, seperti pada perpisahan secara damai. Komunitas internasional juga harus membantu negara baru tersebut untuk pulih kembali setelah mengalami perang saudara. Akan tetapi, ada juga kasus-kasus, di mana tidak ada satu pihak pun yang menang di dalam pertempuran. Konflik pun berkembang semakin besar, dan bermuara pada kebuntuan. Kasus ini bisa ditemukan di Angola, Cyprus, dan Sri Lanka. Tidak ada solusi politik ataupun militer yang bisa menyelesaikan konflik di sana.

Pertanyaan reflektif dari semua ini adalah, mengapa kita harus mempedulikan hal-hal semacam itu? Mengapa kita harus mempedulikan terjadinya perang antar etnis di negara yang letaknya sangat jauh dari negara kita sendiri? Apakah kita memiliki kewajiban untuk melakukan intervensi di dalam konflik-konflik tersebut? Ada dua jawaban atas pertanyaan ini. Pertama, skala konflik etnis menciptakan semacam kewajiban moral di dalam diri kita yang mendengarnya untuk melakukan intervensi, sehingga skala kekerasan bisa diminimalisir, ataupun dihilangkan sama sekali. Ada semacam panggilan kepada kita untuk mengurangi penderitaan, apapun bentuknya, terutama yang diakibatkan oleh perang. Kedua, beberapa konflik etnis secara langsung mengancam kepentingan komunitas internasional secara keseluruhan.

Mengapa kita harus peduli dengan semua itu? Mengapa kita harus peduli dengan konflik yang letaknya ribuan kilo meter dari tempat kita hidup? Salah satu alasannya adalah, karena konflik tersebut melanggar nilai-nilai yang diakui oleh masyarakat internasional, dan dengan demikian mempengaruhi masyarakat internasional secara keseluruhan. Menanggapi ini, banyak usaha telah dilakukan untuk membedakan secara jelas yang mana pihak yang memberontak, dan yang mana pihak yang secara sah memiliki otoritas atas suatu wilayah. Salah satunya adalah dengan merumuskan semacam kode etik peperangan. Akan tetapi, dalam realitas, hal ini seringkali diabaikan, terutama ketika kedua pihak yang berperang mulai secara sistematis dan disengaja menjadikan masyarakat sipil sebagai sasaran mereka.

Alasan lainnya adalah, karena pembiaran terhadap semua bentuk pembantaian masyarakat sipil adalah suatu tindakan yang melanggar moralitas universal kita sebagai manusia. Kekejaman yang terjadi di Jerman pada perang dunia kedua, atau pembersihan etnis yang terjadi di Bosnia pada akhir abad kedua puluh lalu, menyentuh rasa kemanusiaan di dalam diri kita untuk melakukan intervensi guna mencegah terjadinya korban lebih banyak lagi. Jadi, ada kewajiban moral dan kewajiban legal yang mengikat komunitas internasional untuk melakukan intervensi terhadap semua bentuk konflik etnis, terutama yang secara nyata menjadikan warga sipil sebagai korban mereka.

Dengan jumlah sebanyak itu, kehadiran para pengungsi tersebut tentunya memiliki pengaruh terhadap komunitas internasional sebagai keseluruhan. Pertama, jika para pengungsi pergi ke negara tetangga, di mana kelompok etnis mereka juga memiliki jumlah yang besar di sana, maka ada kemungkinan akan tercipta solidaritas antar anggota etnis yang sama. Pada akhirnya, negara tetangga, yang awalnya tidak terlibat konflik, juga bisa terlibat di dalam perang yang sebenarnya bukan perang mereka. Hal ini tentu saja memperluas skala perang. Kedua, kehadiran para pengungsi dalam jumlah besar tentunya akan meningkatkan biaya ekonomi bagi negara terkait. Para pengungsi memerlukan makanan dan tempat tinggal untuk menunjang hidup mereka. Bahkan, dalam beberapa kasus, negara tetangga harus menampung para pengungsi untuk jangka waktu yang tidak bisa ditentukan. Ketiga, kehadiran para pengungsi dalam jumlah besar juga dapat mengancam keutuhan identitas kultural dari negara yang ditempati, terutama juga para pengungsi mendirikan sekolah, surat kabar, organisasi-organisasi berbasiskan etnis, dan rumah ibadah mereka sendiri. Keempat, kehadiran para pengungsi dalam jumlah besar juga bisa menjadi suatu bentuk kekuatan politis tertentu. Kekuatan politis ini akan mempengaruhi persepsi negara yang mereka tempati dalam hal kebijakan luar negeri, terutama mengenai negara asal para pengungsi tersebut, yang memang sedang mengalami konflik. Beberapa negara khawatir, bahwa para pengungsi akan berbalik menentang mereka, jika mereka membuat kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan para pengungsi tersebut. Dan kelima, jika kehadiran para pengungsi, dengan segala problematika yang muncul bersamanya, sungguh menjadi ancaman bagi negara sekitarnya, maka PBB punya kewajiban untuk melakukan intervensi pada krisis yang tengah terjadi.

Posting Komentar untuk "Dampak dari Konflik Etnis di Dunia"