Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) Berbasis Multikultural

Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) Berbasis Multikultural

Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) Berbasis Multikultural. Kondisi pendidikan di Indonesia-termasuk pendidikan Islamnya-tidak memadai lagi untuk masyarakat Indonesia yang plural dan multikultural. Oleh karena itu, perlu dilakukan transformasi paradigma pendidikan di Indonesia. Adapun paradigma pendidikan yang ditawarkan adalah paradigma pendidikan multikultural sebagai pengganti paradigma pendidikan yang monokultural.

Tawaran tentang pentingnya pendidikan multikultural ini dalam batas tertentu mendapat respon yang positif dari pihak eksekutif dan legislatif. Hal ini terbukti dengan diundangkannya Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,  yang mengakomodasi nilai-nilai hak asasi manusia dan semangat multikultural (Bab III, pasal 4, ayat 1). Bahkan nilai-nilai tersebut dijadikan sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan Pendidikan Nasional, sebagaimana yang termaktub pada Bab III pasal 4, ayat 1: “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.”  

Mengingat penyelenggaraan pendidikan memerlukan kurikulum, maka nilai-nilai multikultural tersebut harus dijadikan dasar dalam perencanaan, implementasi, dan evaluasi kurikulum suatu lembaga pendidikan—baik dalam bentuk sekolah, madrasah, maupun pesantren.

Pernyataan ini, sejalan dengan prinsip dalam pengembangan kurikulum  KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Dari 7 (tujuh) prinsip yang ada, prinsip pengembangan kurikulum yang kedua bermuatan nilai-nilai multikultural. Prinsip yang dimaksud adalah “beragam dan terpadu.” Prinsip ini dijelaskan sebagai berikut:

”Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta menghargai dan tidak diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan jender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antar substansi” (Puskur Diknas, 2006: 4).

Namun demikian, prinsip pengembangan kurikulum yang bermuatan multikultural tersebut tidak perlu dijabarkan secara eksplisit dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP, PP No. 19 Tahun 2005), yang terdiri atas 8 (delapan) standar, yaitu: (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian pendidikan. Agaknya, penjabaran secara detail dan eksplisit tentang nilai-nilai multikultural diserahkan kepada para pengelola pendidikan—baik di sekolah, madrasah, maupun di pesantren sesuai dengan karakter kurikulum KTSP. Adapun karakter utama dari KTSP adalah bahwa kurikulum disusun dan diimplementasikan oleh masing-masing satuan pendidikan.  

Pendidikan Multikulturalisme 

a. Pengertian Multikulturalisme 


Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham).  Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaan masing-masing yang unik. Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggungjawab untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran suatu masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui (politics of recognition) merupakan akar dari segala ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan.

Pengertian kebudayaan di antara para ahli harus dipersamakan, atau setidak-tidaknya, tidak dipertentangkan antara satu konsep yang dipunyai oleh seorang ahli dengan konsep yang dipunyai oleh ahli lainnya. Karena multikulturalisme itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia.

Jadi, apakah multikulturalisme itu secara terminologis? Dalam menjawab pertanyaan ini, kita akan melihat beberapa pendapat dari para ahli, diantaranya; Abdullah mengemukakan bahwa multikulturalisme adalah sebuah paham yang menekankan pada kesenjangan dan kesetaraan budaya-budaya lokal dengan tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang ada. Dengan kata lain, penekanan utama multikulturalisme adalah pada kesetaraan budaya.   Selanjutnya pandangan yang dikemukakan oleh Nanih Mahendrawati dan Ahmad Syafei, bahwa multikulturalisme sebenarnya merupakan konsep di mana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui keberagaman, perbedaan, dan kemajemukan budaya, baik ras, suku, etnis, dan agama. Sebuah konsep yang memberikan pemahaman kepada kita bahwa sebuah bangsa yang kelompok-kelompok etnik atau budaya (ethnic and cultural groups) yang ada dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip co-existence yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain. Pluralitas ini juga dapat ditangkap oleh agama, selanjutnya agama mengatur untuk menjaga keseimbangan masyarakat yang plural tersebut.

Setelah melihat rumusan dan pandangan para ahli tentang multikultural dan multikulturalisme, maka dapat disimpulkan bahwa secara hakiki multikultural mengandung makna adanya pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komuitasnya dengan kebudayaan masing-masing yang unik. Sedangkan multikulturalisme suatu paham atau aliran yang mengakui tentang adanya keberagaman dan perbedaan dalam kehidupan manusia; baik secara fisik (jasmani) maupun secara fsikis (jiwa); baik secara individu maupun secara sosial (masyarakat; yang terintegrasi dalam bentuk gender, etnik, ras, suku, bangsa, kepercayaan dan agama.

Disamping istilah multikulturalisme, terdapat istilah lain yang pemaknaannya hampir sama, yakni istilah pluralisme. Pluralisme berasal dari kata plural yang bermakna jamak (tidak tunggal). Pluralisme- dengan demikian- dapat dimaknai sebagai sebuah paham yang menegaskan bahwa terdapat satu fakta kemanusiaan yakni keragaman, heterogenitas dan kemajemukan. Oleh karena itu ketika disebut pluralisme, maka penegasannya adalah diakuinya wacana kelompok, individu, komunitas, sekte dan segala macam bentuk perbedaan, distingsi sebagai suatu fakta yang harus-mau tidak mau, suka atau tidak suka-diterima, diakui adan dipelihara. Dalam pluralisme, keberbedaan diakui eksistensinya dan karenanya bukan ingin dilebur, disatukan dan diintegrasikan dalam bentuk kesatuan atau homogenitas.

b. Pengertian Pendidikan Agama Islam Multikultural 


Sebelum menjelaskan pengertian pendidikan agama Islam multikultural, ada baiknya dideskripsikan terlebih dahulu dimensidimensi pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural merupakan konsep, ide atau falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara.

Dalam pengertian lain, pendidikan multikultural merupakan suatu cara dalam mengajarkan keragaman (teaching diversity). Pendidikan multikultural menghendaki rasionalitas etis, intelektual, sosial dan pragmatis secara inter-relatif, yaitu mengajarkan ideal-ideal inklusivisme, pluralisme, hubungan antar agama dan saling menghargai semua orang, keragaman kebudayaan-dalam perspektif pendidikan multikultural dipandang- merupakan imperatif humanistik yang menjadi prasyarat bagi kehidupan etis dan partisipasi sipil yang beragam, mengintegrasikan studi tentang fakta-fakta, sejarah kebudayaan, nilainilai, struktur, perspektif, dan kontribusi semua kelompok ke dalam kurikulum, sehingga diharapkan dapat membangun pengetahuan yang lebih kaya, kompleks dan akurat tentang kondisi kemanusiaan di dalam dan melintasi konteks waktu, ruang dan kebudayaan tertentu.

Pendidikan multikultural berusaha mengeksplorasi sisi-sisi partikular dan universal dalam cultural studies. Ia berusaha memahami kebudayaan-kebudayaan dan masyarakat-masyarakat partikular dalam konteks dan dari perspektif mereka sendiri, mengedepankan analisis perbandingan, pemahaman etno-relatif, penilaian yang rasional tentang perbedaan dan persamaan terhadap berbagai kebudayaan dan masyarakat, dan ia berupaya mengidentifikasi ideal-ideal dan praktikpraktik bersama dan universal yang melampaui kebudayaan-kebudayaan dan masyarakat-masyarakat partikular, membangun jembatan diantara berbagai kebudayaan serta menyediakan basis bagi hubungan manusiawi.

Pendidikan multikultural menentang semua bentuk asumsi yang belum teruji, bias dan palsu tentang perbedaan dan persamaan manusia, ia merupakan kritik reflektif dan pencarian terhadap isu-isu tersebut untuk membuka jalan terang bagi komunikasi lintas budaya dan bertindak lebih adil dan konstuktif terhadap perbedaan kultural. Karena alasan-alasan praktis dan etis, kini setiap komponen edukatif perlu belajar berkomunikasi, mempelajari hidup dan bekerjasama secara efektif dan damai dengan mereka yang secara kultural berbeda. Dengan pendidikan semacam ini, ending process-nya diharapkan pebelajar dari tingkat sekolah dasar, menengah hingga perguruan tinggi dapat tumbuh dalan suatu dunia yang bebas dari prasangka, bias dan diskriminasi atas nama apapun, baik agama, gender, ras, warna kulit, etnis, kebudayaan, kelas dan sebagainya untuk mencapai suatu tujuan mereka dan merasakan bahwa apapun yang mereka kehendaki untuk dapat terlaksana dalam kehidupan ini menjadi lebih mungkin.

Atas dasar deskripsi di atas, menjadi jelaslah bahwa pendidikan agama Islam multikultural adalah proses transformasi dan internalisasi nilai-nilai dasar dan ideal ajaran Islam yang berusaha mengaksentuasikan aspek-aspek perbedaan dan disparitas kemanusiaan dalam konteksnya yang luas sebagai suatu grand designof God yang mesti diterima dengan penuh arif dan lapang dada ditengah kenyataan kemanusiaan yang plural-multikultural dalam segala dimensinya guna mewujudkan tatanan kehidupan yang berkeadilan (mardhaatillah). Dengan definisi yang lebih operasional, dapat dinyatakan bahwa pendidikan agama multikultural merupakan usaha komprehensif dalam mencegah terjadinya konflik antar agama, mencegah terjadinya radikalisme agama, sekaligus pada saat yang sama memupuk terwujudnya sikap yang apresiatif positif terhadap pluralitas dalam dimensi dan perspektif apapun, karena pendidikan agama berbasis multikultural memiliki visi dan misi untuk mewujudkan agama pada sisi yang lebih santun, dialogis, apresiatif terhadap plural
itas dan peduli terhadap persoalan hidup yang komunal transformatif.

c. Urgensi Pendidikan Multikultural di Indonesia 


Keanekaragaman (pluralitas) agama yang hidup di Indonesia, termasuk di dalamnya keanekaragaman paham keagamaan internal umat beragama merupakan kenyataan historis yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Dengan memperhatikan kondisi obyektif masyarakat indonesia yang sedemikian majemuk dalam segala segmennya, terasa sangat urgen dan mendesak untuk dikembangkan perspektif dan pendekatan terhadap agama yang bersifat komprehensif.  Pada sisi lain dirasakan perlunya mengubah orientasi pendidikan agama yang menekankan aspek sektoral fiqhiyah menjadi pendidikan agama yang berorientasi pengembangan aspek universal rabbaniyah, Sehingga dapat memupuk jiwa toleransi beragama dan membudayakan hidup rukun antar umat beragama, serta dapat meningkatkan pembinaan individu yang mengarah pada terbentuknya pribadi berbudi pekerti luhur.

Untuk itu, wacana membangun pemahaman multikultural dalam bingkai pendidikan agama merupakan suatu yang sangat urgen dan signifikan, bukan saja terhadap umat antar agama, tetapi juga terhadap sesama internal umat dalam suatu agama, karena seringkali masalah internal umat beragama justru lebih sulit dan lebih rumit untuk dipecahkan dibandingkan dengan persoalan yang dihadapi ileh persoalan antar umat beragama. dalam hal ini, ada baiknya dipikirkan alternatif yang dapat ditawarkan dan perlu dikembangkan di tengahtengah masyarakat yang majemuk ini dalam upaya membangun kerangka pendidikan agama berbasis multikultural.

Dari wacana di atas, terlihat jelas betapa sedemikian urgennya pendidikan agama berbasis multikultural bagi umat manusia sebagai suatu paradigma gerakan sosial intelektual yang mendorong terwujudnya nilai-nilai kebhinekaan sebagai prinsip inti dan mengukuhkan pandangan bahwa semua kelompok budaya diperlakukan setara dan sama-sama dihormati.

Untuk mewujudkan multikulturalisme dalam dunia pendidikan, maka pendidikan multikutural juga perlu dimasukkan ke dalam kurikulum nasional, yang pada akhirnya dapat menciptakan tatanan masyarakat indonesia yang multikultural, serta upaya-upaya lain yang dapat dilakukan guna mewujudkannya. Lebih jelasnya Choirul Mahfud menguraikannya sebagai berikut:

1) Sebagai Sarana Alternatif Pemecahan Konflik 

Penyelenggaraan pendidikan multikultural di dunia pendidikan diyakini dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat, khususnya yang kerap terjadi di masyarakat Indonesia yang secara realitas sangat plural. Dengan kata lain, pendidikan multikultural dapat menjadi sarana alternatif pemecahan konflik sosial-budaya.

Pada dasarnya model-model pembelajaran yang berkaitan dengan kebangsaan memang sudah ada. Namun, hal itu masih kurang memadai sebagai sarana pendidikan guna menghargai perbedaan masing-masing suku, budaya, dan etnis. Hal itu dengan munculnya konflik yang kerap terjadi pada realitas kehidupan berbangsa dan bernegara pada saat ini. Menurut Stephen Hill, pendidikan multikultural dapat dikatakan berhasil bila prosesnya melibatkan semua elemen masyarakat. Hal itu dikarenakan adanya multidimensi aspek kehidupan yang tercakup dalam pendidikan multikultural. Sehingga akan tercipta kondisi yang nyaman, damai dan toleran dalam kehidupan bermasyarakat.

2) Supaya Siswa Tidak Tercerabut dari Akar Budaya

Selain sebagai sarana pemecahan konflik, pendidikan multikultural juga signifikan dalam membina siswa agar tidak tercerabut dari akar budaya yang ia miliki sebelumnya, tatkala ia berhadapan dengan realitas sosial-budaya di era globalisasi.

Dalam era globalisasi saat ini, pertemuan antar budaya menjadi ‘ancaman’ serius bagi anak didik. Untuk mensikapi realitas global tersebut, siswa hendaknya diberi penyadaran akan pengetahuan yang beragam, sehingga mereka memiliki kompetensi yang luas akan pengetahuan global, termasuk aspek kebudayaan. Mengingat beragamnya realitas kebudayaan di negeri ini, dan di luar negeri, siswa pada era globalisasi ini sudah tentu perlu diberi materi tentang pemahaman banyak budaya, atau pendidikan multikulturalisme, agar siswa tidak tercerabut dari akar kebudayaanya, karena realitas kebudayaan yang ada di Indonesia merupakan kekayaan yang bisa menjadi modal untuk mengembangkan suatu kekuatan budaya. Selain itu, ia juga sebagai kekaayaan yang luar biasa, yang tidak dimiliki orang lain. Maka, jelaslah bahwa kekayaan tersebut patut kita jaga da lestarikan.

3) Sebagai Landasan Pengembangan Kurikulum Nasional

Dalam melakukan pengembangan kurikulum sebagai titik tolak dalam proses belajar mengajar, atau guna memberikan sejumlah materi dan isi pelajaran yang harus di kuasai oleh siswa dengan ukuran atau tingkatan tertentu, pendidikan multikultural sebagai landasan pengembangan kurikulum menjadi sangat penting.

Pengembangan kurikulum masa depan yang berdasarkan pendekatan multikultural dapat dilakukan berdasarkan langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku seragam seperti saat ini kepada filosofi yang lebih sesuai dengan tujuan, misi, dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan. 
  2. Teori kurikulum tentang konten (curriculum content), haruslah berubah dari teori yang mengartikan konten sebagai aspek substantive yang berisikan fakta, teori, generalisasi ke pengertian yang mencakup pula nilai moral, prosedur dan keterampilan (skills) yang harus di miliki oleh generasi muda. 
  3. Teori belajar yang digunakan dalam kurikulum masa depan yang memperhatikan keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan politik tidakboleh lagi hanya mendasarkan diri pada teori psikologi belajar yang menempatkan siswa sebagai makhluk sosial, budaya, politik, yang hidup sebagai anggota aktif masyarakat, bangsa, dan dunia yang harus diseragamkan oleh institusi pendidikan. 
  4. Proses belajar yang dikembangkan untuk siswa haruslah pula berdasarkan proses yang memiliki tingkat isomorphisme yang tinggi  dengan kenyataan sosial. 
  5. Evaluasi yang digunakan haruslah meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian peserta didik, sesuai dengan tujuan dan konten yang dikembangkan. 

Dengan cara ini diharapkan, bahwa generasi muda di Indonesia ini setidak-tidaknya memiliki identitas nasional, sehingga mereka tidak mudah dipecah belah, dan mampu bersaing di era perdagangan bebas dan era globalisasi seperti saat ini. Negara yang berpenduduk majemuk seperti Amerika, Australia dan Kanada pun telah mengajarkan pendidikan multikultural pada sekolah formal dan informal.

d. Penyajian Pendidikan Multikultural 


Mungkin timbul pertanyaan pada kita apakah penyajian pendidikan multikultural disajikan sebagai mata pelajaran ataukah merupakan suatu bentuk penyajian yang terintegrasi. Salah satu ciri utama dari pendekatan studi kultural adalah yang disebut lintas batas dari disiplin ilmu pengetahuan (border crossing). Implikasinya, pendidikan multikultural sebaiknya tidak diberikan dalam satu mata pelajaran yang terpisah, tetapi terintegrasi dalam mata pelajaran-mata pelajaran yang relevan. Dalam mata pelajaran ilmu-ilmu sosial, dan mata pelajaran bahasa, tujuan yang telah dirumuskan mengenai pendidikan multikultural dapat dicapai tanpa memberikan suatu mata pelajaran tertentu. Dalam mata pelajaran kewarganegaraan (civic education) ataupun pendidikan moral (moral education) merupakan wadah untuk menampung program-program pendidikan multikultural.

Selain membicarakan pendidikan multikultural dalam bentuk penyajiannya, kurikulum dapat pula disajikan dalam pengertian pendidikan yang lebih luas, yaitu dalam seluruh budaya lembaga pendidikan, bak dalam keluarga, lingkungan sekolah, maupun masyarakat luas. Dengan demikian, pendidikan multikultural lebih tepat disebut sebagai suatu proses mata pelajaran.atau dengan kat lain, dalam lingkungan sekolah (school education) pendidikan multikultural merupakan pengembangan budaya pluralisme dalam kehidupan sekolah (school culture) sebagai lembaga masyarakat (social institution). Dalam hal ini ada baiknya direnungkan ungkapan Prof. Sutton dalam konferensi internasional tentang Civic Education and Multiculturalism sebagai berikut: It is not enough to learn what democracy is, it is also necessary to teach children and youth how to be apart of democracy. Demikian juga dengan cara hidup demokrasi yang diajarkan oleh John Dewey, yang disebut bapak pendidikan demokrasi. Bahkan Amy Guttman menyatakan juga mengenai demokrasi
yang memerlukan pemikiran-pemikiran rasional (delibe-rative democracy). Pendidikan multikultural dalam hal ini merupaka dasar dari demokrasi atau demokrasi deliberatif.

e. Pendekatan Pendidikan Berbasis Multikultultural 


Pendidikan agama berwawasan multikultural mengusung pendekatan dialogis untuk menanamkn kesadaran hidup bersama dalam keragaman dan perbedaan. Pendidikan ini dibangun atas dasar spirit relasi kesetaraan dan kesederajatan, saling percaya, saling memahami, menghargai persamaan, perbedaan dan keunikan. Ini merupakan inovasi dan reformasi yang integral dan komprehensif dalam muatan pendidikan agama; memberi konstruk pengetahuan baru tentang agama-agama yang bebas prasangka, rasisme, bias dan streotip. Pendidikan agama multikultural memberi pengakuan akan pluralitas, sarana belajar untuk perjumpaan lintas batas, dan mentransformasi indoktrinasi menuju dialog.

Sebenarnya masyarakat Indonesia telah lama akrab dengan diktum Bhineka Tunggal Ika. Namun sayangnya, konsep ini telah mengalami pemelintiran makna dan bias interpretasi, terutama sepanjang pemerintahan Orde Baru. Kebijakan sosial-politik saat itu cenderung uniformistik, sehingga tampaknya budaya milik kelompok dominanlah yang diajarkan dan disalurkan oleh sekolah dari satu generasi ke generasi yang lainnya.

Keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi adalah suatu realita masyarakat dan bangsa Indonesia. Namun demikian, keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan aspirasi politik yang seharusnya menjadi faktor yang diperhitungkan dalam penentuan filasafat, teori, visi, pengembangan dokumen, sosialisasi kurikulum, dan pelaksanaan kurikulum, nampaknya belum dijadikan sebagai faktor yang harus dipertimbangkan dalam pelaksanaan kurikulum pendidikan di negara kita. Maka akibatnya, wajar manakala terjadi kegagalan dalam pendidikannya (termasuk pendidikan agama), terutama sekali dalam menumbuhkan sikap-sikap untuk menghargai adanya perbedaan dalam masyarakat.

Selain itu, Kautsar Azhari Noer menyebutkan, paling tidak ada empat faktor penyebab kegagalan pendidikan agama dalam menumbuhkan pluralisme. Pertama, penekanannya pada proses transfer ilmu agama ketimbang pada proses transformasi nilai-nilai keagamaan dan moral kepada anak didik. Kedua, sikap bahwa pendidikan agama tidak lebih dari sekedar sebagai “hiasan kurikulum” belaka, atau sebagai ‘pelengkap’ yang dipandang sebelah mata. Ketiga, kurangnya penekanan pada penanaman nilai-nilai moral yang mendukung kerukunan antaragama, seperti cinta, suka damai dan toleransi, dan Keempat, kurangnya perhatian untuk mempelajari agama-agama lain.

Oleh karena itu, untuk membentuk pendidikan yang mampu menghasilkan manusia yang memiliki kesadaran pluralis-multikulturalis, diperlukan rekonstruksi pendidikan sosial keagamaan untuk memperteguh dimensi kontrak sosial keagamaan dalam pendidikan agama. Dengan dasar pluralis-multikultural sebagai pendekatan dalam pembelajaran dan pengembangan kurikulum, diartikan sebagai suatu prinsip yang menggunakan keragaman kebudayaan peserta didik dalam mengembangkan filosofi, misi, tujuan dan komponen kurikulum, serta lingkungan belajar sehingga peserta didik dapat menggunakan kebudayaan pribadinya untuk memahami dan mengembangkan berbagai wawasan, konsep, keterampilan, nilai, sikap dan moral yang diharapkan.

Ada beberapa pendekatan yang bisa dikembangkan dalam rangka mengajarkan pendidikan agama yang diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran pluralis-multikultural pada peserta didik, diantaranya:

  1. Pendekatan Historis, pendekatan ini mengandaikan bahwa materi pendidikan agama yang diajarkan kepada perserta didik dengan menengok kembali ke belakang; maksudnya adalah agar pendidik dan peserta didik mempunyai kerangka berpikir yang komplit untuk bisa merfleksikannya pada masa sekarang dan akan datang. Pendidikan dengan pendekatan historis harus dilakukan secara kritisdinamis, dalam pengertian bahwa seorang pendidik harus mampu menjadikan peserta didik sebagai pihak yang memiliki kedudukan sama sehingga berhak mengkritik pendidik atas apa yang telah dikemukakan. 
  2. Pendekatan Sosiologis, pendekatan ini mengandaikan terjadinya “kontekstualisasi” atas apa yang pernah terjadi sebelumnya. Dalam kerangka berpikir Islam, kontekstualisasi diidentikkan dengan ijtihad. Dengan pendekatan sosiologis, pendidikan agama akan menjadi lebih aktual. Aktualitas memang selaras dengan dinamika dan kebutuhan zaman, namun bukan aktualitas yang dipaksakan. 
  3. Pendekatan Kultural, pendekatan ini merupakan pendekatan dalam pendidikan aqidah yang menekankan aspek autentisitas dan tradisi yang berkembang. Dengan pendekatan kultural, peserta didik akan memahami apa yang sebenarnya menjadi tradisi dan mana yang autentik/orisinil. Pendekatan ini akan bermanfaat untuk menyelidiki secara mendalam berkaitan dengan masih bercampur aduknya antara yang orisinil dengan tradisi-tradisi Arabian, sehingga umat Islam banyak yang salah memahami antara yang tradisi dengan Islam. 
  4. Pendekatan Psikologis, pendekatan ini untuk memperhatikan situasi psikologis secara tersendiri dan mandiri. Artinya masing-masing peserta didik dilihat sebagai manusia mandiri dan unik dengan karakter dan kemampuan yang dimilikinya. 
  5. Pendekatan Estetik, pendekatan estetik dalam pendidikan agama akan menjadikan peserta didik memiliki sifat-sifat yang santun, damai, ramah dan mencintai keindahan. Karena dalam perspektif ini, pelajaran agama Islam tidak didekati secara doktrinal yang cenderung menekankan adanya “otoritas-otoritas” kebenaran agama, tetapi lebih apresiatif terhadap gejala-gejala yang terjadi di tengah masyarakat yang dilihat sebagai nagian dari dinamika hidup yang bernilai seni dan estetika. 
  6. Pendekatan berperspektif Gender, pendekatan ini sebenarnya merupakan pendekatan yang tidak membedakan peserta didik dari aspek jenis kelamin. Dengan demikian pendekatan ini sangat manusiawi. 
  7. Pendekatan Filosofis, pendekatan ini menekankan pentingnya menghargai akal pikiran manusia. Akal pikiran merupakan satu potensi besar manusia yang dapat didayagunakan sebagi alat untuk menyingkap dan menggali hikmah dari realitas. Filsafat bersumber dari akal sehat dengan merenungkan secara mendalam terhadap segala hal yang berkaitan dengan manusia, alam, kehidupan dan Tuhan.  

James A. Banks (1993, 1994-a), mengidentifikasi ada lima dimensi pendidikan multikultural yang diperkirakan dapat membantu guru dalam mengimplementasikan beberapa program yang mampu merespon terhadap perbedaan pelajar (siswa), yaitu:

  1. Dimensi integrasi isi/materi (content integration). Dimensi ini digunakan oleh guru untuk memberikan keterangan dengan ‘poin kunci’ pembelajaran dengan merefleksi materi yang berbeda-beda. Secara khusus, para guru menggabungkan kandungan materi pembelajaran ke dalam kurikulum dengan beberapa cara pandang yang beragam. Salah satu pendekatan umum adalah mengakui kontribusinya, yaitu guru-guru bekerja ke dalam kurikulum mereka dengan membatasi fakta tentang semangat kepahlawanan dari berbagai kelompok. Di samping itu, rancangan pembelajaran dan unit pembelajarannya tidak dirubah. Dengan beberapa pendekatan, guru menambah beberapa unit atau topik secara khusus yang berkaitan dengan materi multikultural. 
  2. Dimensi konstruksi pengetahuan (knowledge construction). Suatu dimensi dimana para guru membantu siswa untuk memahami beberapa perspektif dan merumuskan kesimpulan yang dipengaruhi oleh disiplin pengetahuan yang mereka miliki. Dimensi ini juga berhubungan dengan pemahaman para pelajar terhadap perubahan pengetahuan yang ada pada diri mereka sendiri; 
  3. Dimensi pengurangan prasangka (prejudice reduction). Guru melakukan banyak usaha untuk membantu siswa dalam mengembangkan perilaku positif tentang perbedaan kelompok. Sebagai contoh, ketika anak-anak masuk sekolah dengan perilaku negatif dan memiliki kesalahpahaman terhadap ras atau etnik yang berbeda dan kelompok etnik lainnya, pendidikan dapat membantu siswa mengembangkan perilaku intergroup yang lebih positif, penyediaan kondisi yang mapan dan pasti. Dua kondisi yang dimaksud adalah bahan pembelajaran yang memiliki citra yang positif tentang perbedaan kelompok dan menggunakan bahan pembelajaran tersebut secara konsisten dan terus-menerus. Penelitian menunjukkan bahwa para pelajar yang datang ke sekolah dengan banyak stereotipe, cenderung berperilaku negatif dan banyak melakukan kesalahpahaman terhadap kelompok etnik dan ras dari luar kelompoknya. Penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan teksbook multikultural atau bahan pengajaran lain dan strategi pembelajaran yang kooperatif dapat membantu para pelajar untuk mengembangkan perilaku dan persepsi terhadap ras yang lebih positif. Jenis strategi dan bahan dapat menghasilkan pilihan para pelajar untuk lebih bersahabat dengan ras luar, etnik dan kelompok budaya lain. 
  4. Dimensi pendidikan yang sama/adil (equitable pedagogy). Dimensi ini memperhatikan cara-cara dalam mengubah fasilitas pembelajaran sehingga mempermudah pencapaian hasil belajar pada sejumlah siswa dari berbagai kelompok. Strategi dan aktivitas belajar yang dapat digunakan sebagai upaya memperlakukan pendidikan secara adil, antara lain dengan bentuk kerjasama (cooperatve learning), dan bukan dengan cara-cara yang kompetitif (competition learning). Dimensi ini juga menyangkut pendidikan yang dirancang untuk membentuk lingkungan sekolah, menjadi banyak jenis kelompok, termasuk kelompok etnik, wanita, dan para pelajar dengan kebutuhan khusus yang akan memberikan pengalaman pendidikan persamaan hak dan persamaan memperoleh kesempatan belajar. 
  5. Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school culture and social structure). Dimensi ini penting dalam memperdayakan budaya siswa yang dibawa ke sekolah yang berasal dari kelompok yang berbeda. Di samping itu, dapat digunakan untuk menyusun struktur sosial (sekolah) yang memanfaatkan potensi budaya siswa yang beranekaragam sebagai karakteristik struktur sekolah setempat, misalnya berkaitan dengan praktik kelompok, iklim sosial, latihan-latihan, partisipasi ekstra kurikuler dan penghargaan staff dalam merespon berbagai perbedaan yang ada di sekolah.  

Selain itu, pentingnya mereformasi kurikulum PAI dengan menampilkan wajah Islam toleran dapat dijelaskan dari sudut pandang filsafat perenialisme, esensialisme dan progresivisme.  Dari sinilah sangat memungkinkan untuk mengajarkan prinsip-prinsip ajaran Islam yang humanis, demokratis, dan berkeadilan kepada peserta didik. Sebuah prinsip-prinsip ajaran Islam yang sangat relevan untuk memasuki masa depan dunia yang ditandai dengan adanya keanekaragaman budaya dan agama.

f. Implementasi Pendidikan Multikultural di Madrasah 


Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Sistem Pendidikan Nasional, madrasah,  -harus diakui- telah berjasa dalam mengembangkan pengetahuan keislaman, membentuk moral bangsa, dan mencetak kader pimpinan bangsa. Dalam hal ini madrasah merupakan lembaga yang multi-fungsional, yaitu sebagai lembaga pembelajaran ilmu pengetahuan, lembaga pendidikan moral, dan kawah candradimuka kepemimpinan.

Oleh karena itu, Sebagai seorang guru agama, selain harus memiliki empat kompetensi seperti yang diamanatkan PP Nomor 19 tahun 2005 ia juga harus memiliki aspek lain yang membedakannya dengan guru bidang studi lainnya. Menurut Ngainun, guru agama bukan sekedar penyampai materi pelajaran, tetapi lebih dari itu, ia adalah sumber inspirasi spiritual sekaligus sebagai pembimbing sehingga terjalin hubungan antara guru dan murid yang cukup dekat dan mampu melahirkan keterpaduan bimbingan ruhani dan akhlak dengan materi pengajarannya.

Begitu pula tentang mutu dan prestasi pendidikan agama harus di ukur secara totalitas anak didik secara pribadi. Perilaku dan kesalehan yang ditampilkan dalam keseharian lebih penting dibandingkan dengan pencapaian nilai 9 (angka) atau nilai A. Dalam hal ini menurut A. Malik dalam Ngainun, mutu pencapaian pendidikan agama perlu diorientasikan kepada: (a) Tercapainya sasaran kualitas pribadi, baik sebagai muslim maupun sebagai manusia Indonesia, (b) integrasi pendidikan agama dengan keseluruhan proses maupun institusi pendidikan yang lain, (c) tercapaianya internalisasi nilai-nilai dan normanorma keagamaan, (d) penyadaran pribadi akan tuntutan hari depannya dan transformasi sosial budaya yang terus berlangsung, dan (e) pembentukan wawasan ijtihadiyah (intelektual) disamping penyerapan pelajaran secara aktif.28

Dalam kaitannya dengan proses pembelajaran agama, hal penting yang harus dipahami adalah karakteristik pendidikan multikultural, yakni belajar hidup dalam perbedaan. Pendidikan konvensional pada umumnya hanya bersandar pada tiga pilar utama yaitu: how to know, how to do, dan how to be, maka dalam pendidikan multikultural ditambah satu pilar lagi yakni: how to live and work together with others. Penanaman pilar ke empat sebagai suatu jalinan komplementer terhadap tiga pilar lainnya dalam praktik pendidikan meliputi proses:

  1. Pengembangan sikap toleran, empati dan simpati. 
  2. Membangun saling percaya. 
  3. Memelihara saling pengertian (mutual understanding) 
  4. Menjunjung tinggi sikap saling menghargai.  

Selain beberapa aspek diatas, aspek lain yang harus mendapat perhatian adalah pendekatan dalam pengajaran. Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam pembelajaran agama Islam sehingga dapat menumbuhkan paham multikultural pada anak didik, yakni: Pertama, pendekatan historis, pendekatan harus dilakukan secara kritis dan dinamis, contoh dalam pelajaran akidah akhlak, dengan pendekatan ini bisa dikaji secara mendalam sampai ke akar-akarnya, sehingga sejarah dapat dikemukakan sebagai fakta, bukan sebagai kemestian yang harus diikuti dan dibenarkan. Kedua, pendekatan sosiologis, pendekatan ini mengandalkan terjadinya “kontekstualisasi” atas apa yang pernah terjadi sebelumnya. Ketiga, pendekatan kultural. Pendekatan kultural merupakan pendekatan dalam pendidikan akidah yang menekanka pada aspek autensitas dan tradisi yang berkembang. Keempat, Pendekatan psikologis, pendekatan ini menekankan pada pendidik untuk dapat memahami anak didiknya yang beragam. Kelima, pendekatan estetik. Pembelajaran agama disampakan dengan cara apresiatif terhadap gejala-gejala yang terjadi dimasyarakat. Keenam, pendekatan berperspektif gender, dan Ketujuh, pendekatan filosofis.

Di madrasah karena materi pembelajaran yang kental agamis, lingkungan yang kondusif, dan juga disiplin yang tinggi serta kemampuan guru yang dapat memahami karakter peserta didik yang beragam, dimungkinkan implementasi pendidikan multikultural bisa -kalau tidak mau mengatakan ‘sudah’- berjalan dengan sendirinya.

g. Peranan dalam Membangun Paradigma Multikultural 


Guru agama merupakan faktor penting dalam pengimplementasian nilai-nilai keberagaman yang inklusif dan moderat di sekolah maupun madrasah. Guru agama mempunyai posisi penting dalam penerapan pendidikan multikultural, karena ia merupakan salah satu target dari strategi pendidikan multikultural. Apabila seorang guru agama mempunyai paradigma pemahaman keberagaman yang inklusif dan moderat, maka ia juga akan mampu untuk mengajarkan dan mengimplementasikan nilai-nilai keberagaman tersebut terhadap peserta didiknya di sekolah. Peran guru agama dalam hal ini antara lain: Pertama, seorang guru harus mampu untuk bersikap adil dan demokratis, artinya dalam segala tingkah lakunya, baik sikap maupu n perkataannya tidak diskriminatif (bersikap tidak adil atau menyinggung) terhadap murid-murid penganut agama yang berbeda dengan agama yang dianut oleh gurunya. Sebagai contoh ketika guru menjelaskan materi tentang perang salib, maka guru agama selayaknya bersikap netral walaupun agama yang dianutnya sama atau berbeda dengan
salah satu kelompok agama yang terlibat dalam perang tersebut.

Kedua, guru agama seharusnya memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kejadian-kejadian tertentu yang ada kaitannya dengan agama.  Contohnya ketika terjadi pemboman terhadap tempat tertentu (kasus bom Bali) atau konflik di Poso dan Ambon,  maka seorang guru yang berwawasan multikultural harus mampu menjelaskan keprihatinannya terhadap peristiwa tersebut dan menjelaskan bahwa kejadian tersebut seharusnya jangan sampai terjadi. Karena dalam semua agama diajarkan bahwa penggunaan segala macam bentuk kekerasan dalam memecahkan masalah adalah dilarang. Kekerasan hanya akan menimbulkan masalah-masalah baru. Seorang guru juga harus menjelaskan bahwa inti dari ajaran agama adalah menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Dialog dan musyawarah adalah cara-cara penyelesaian segala bentuk masalah yang sangat dianjurkan oleh semua agama dan kepercayaan yang ada.

Peran dewan guru secara umum dalam membangun keberagaman di lingkungan sekolah antara lain dengan membangun paradigma keberagaman inklusif di sekolah, menghargai keberagaman bahasa, membangun sensitivitas dan meningkatkan sikap kepedulian sosial disekolah, serta membangun sikap anti diskriminasi etnis dan membangun sikap anti diskriminasi terhadap perbedaan kemampuan maupun membangun sikap anti diskriminasi umur di sekolah.

Pendidikan merupakan hak dasar pada setiap manusia. Sebagai makhluk unik yang berbeda antara yang satu dengan lainnya, kebutuhan terhadap pendidikan pun tidak sama. Masing-masing individu memiliki tingkat ketertarikan tertentu terhadap bidang keilmuan dan lembaga pendidikan (sekolah).Oleh karena itu, seharusnya pendidikan tidak menjurus kepada penyeragaman (uniformistik). Sebab keseragaman akan mengakibatkan terbonsainya potensi masing-masing  anak didik. Keseragaman juga menyebabkan tidak tumbuhnya sikap menghargai tehadap setiap perbedaan yang ada.

Sistem pendidikan yang dikembangkan di Indonesia dalam jangka waktu yang cukup panjang tampaknya lebih menekankan pada aspek keseragaman dan sentralistik.Penyeragaman ini mencakup hampir ke seluruh aspek, mulai seragam sekolah, kurikulum, metode hingga buku ajar. Pola ini membawa implikasi pada timbulnya ekslusivitas, tidak toleran, dan menganggap mereka yang berbeda sebagai lawan dan bukan sebagai mitra dialog setara yang harus dihormati dan dihargai.

Dengan menerapkan pendidikan agama berwawasan multikultural di sekolah atau di dunia pendidikan diyakini dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat Indonesia yang heterogen atau plural, dan juga sebagai upaya preventif  bagi peserta didik dalam menghadapi realitas sosial-budaya di era globalisasi, sehingga mereka tidak tercerabut dari akar budaya yang mereka miliki.  Wallahu A’lam Bisshowaab.

Penulis

Disadur dari karya ilmiah dengan judul "PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI YANG BERBASIS MULTIKULTURAL"

Khairul Hammy
Penulis Adalah Dosen STAI Darul Kamal NW Kembang Kerang

DAFTAR PUSTAKA 

Abdullah, M. Amin, 2002, Studi Agama Normativitas atau Historisitas Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Arifin, Anwar, 2003, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional (dalam Undang-Undang SISDIKNAS, POKSI VI FPG DPR RI
Baidhawy, Zakiyuddin, 2005, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, Jakarta: Erlangga
Choirul Mahfud, 2008, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
LAL, Anshori, 2010, Transformasi Pendidikan Islam, Jakarta: Gaung Persada Press
Madjid, Nurcholish, 1992, Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah
Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Jakarta: Paramadina,
Nanih Mahendrawati & Ahmad Syafei, 2001, Pengembangan Masyarakat Islam; Dari Ideologi, Strategi sampai Tradisi Bandung: Remaja Rosdakarya
Ngainu Naim & Achmad Sauqi, 2008, Pendidikan Multikultural; Konsep dan Aplikasi Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Syamsuddin, M., 2000,  Etika dalam Membangun Masyarakat Madani, Ciputat: Kalimah
Sumartana, et.al, 2001, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Susanto, Edi et.al, 2008, Pendidikan Agama Islam Multikultural; Perspektif Kritis atas Pemikiran Nurcholish Madjid, Surabaya: Penerbit eLKAF
Tilaar, H.A.R., 2003, Multikulturalisme, Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, Jakarta: PT Grasindo
------------------, 2009, Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan, Jakarta: PT Rineka Cipta
Tsang, Muhammad et.al, 2009, Pendidikan Multikultural; Telaah Pemikiran dan implementasinya dalam Pembelajaran PAI, Yogyakarta: Idea
Press http://lubisgrafura.wordpress.com/2007/09/10/pembelajaran-berbasis-
Multikultural http://www.xa.yimg.com/kq/groups/4282161/.../JurnalRingk_disertasi.doc http://www.grasindo.co.id/detail.asp?ID =50104457.

Posting Komentar untuk "Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) Berbasis Multikultural"