Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Manusia dalam Pandangan Al-Quran

Manusia dalam Pandangan Al-Quran

Dewasa ini banyak para ilmuan yang membicarakan mengenai ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi, sama halnya dengan Al-Qur’an juga membicarakan perkembangan kehidupan manusia secara ilmiah. Allah SWT dengan kekuasaa-Nya bisa menciptakan makhluk cukup dengan cara “kun fayakun”. Namun sebagai pembelajaraan kepada manusia, Allah SWT menciptakan sesuatu juga dijelaskan proses-prosesnya. Di sini pula, manusia harus sadar bahwa segala sesuatu ada proses-proses perkembangannya, tidak asal jadi.

Telaah ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang manusia, memberi gambaran kontradiktif  menyangkut keberadaannya. Disatu sisi manusia dalam al-Quran sering mendapat pujian Tuhan. Seperti pernyataan terciptanya manusia dalam bentuk dan keadaan yang sebaik-baiknya, kemudian penegasan tentang dimuliakannya makhluk ini dibanding dengan kebanyakan makhluk-makhluk lain. Sedang di sisi lain sering pula manusia mendapat celaan Tuhan. Seperti bahwa ia amat aniaya dan ingkar nikmat, dan sangat banyak membantah  serta bersifat keluh kesah lagi kikir

Gambaran kontradiktif itu bukanlah berarti bahwa ayat-ayat yang berbicara perihal manusia bertentangan satu sama lain, melainkan justru menandakan bahwa makhluk yang bernama manusia itu unik, makhluk yang serba dimensi, dan makhluk yang berada di antara predisposisi negatif dan positif. Hal ini dapat difahami dengan mengkaji asal-usul kejadiannya, proses penciptaannya dan keragaman terminologinya dalam al-Quran serta peran dan tanggung jawabnya di atas muka bumi.

A. Asal dan Proses Kejadian Manusia Pertama dan Berikutnya


1. Proses Kejadian Manusia Pertama (Adam)

Sesungguhnya Allah menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya, termasuk manusia (Adam, Hawa, dan keturunannya) yang Allah berikan akal untuk bertindak, dan hati untuk merasakan. Sebagaimana firman Allah di dalam al-Quran sebagai berikut:

ٱلَّذِيٓ أَحۡسَنَ كُلَّ شَيۡءٍ خَلَقَهُۥۖ وَبَدَأَ خَلۡقَ ٱلۡإِنسَٰنِ مِن طِينٖ ٧ 

Terjemahannya :"Yang membuat sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah". (QS. As Sajdah  : 7).

Allah berfirman mengabarkan bahwa Dia-lah yang memperbaiki, memperkokoh dan memperindah terciptanya segala sesuatu.

Malik meriwayatkan dari Zaid bin Aslam tentang : “dan memulai penciptaan manusia dari tanah,” yaitu Dia telah menciptakan bapak manusia yaitu Adam dari tanah.

Generasi manusia yang ada sampai sekarang, Adalah berasal dari manusia pertama yang bernama Adam dengan istrinya yang populer bernama Hawa .

Di dalam Al Qur’an, dijelaskan bahwa Adam diciptakan oleh Allah dari tanah yang kering kemudian dibentuk oleh Allah dengan bentuk yang sebaik-baiknya. Setelah sempurna maka oleh Allah ditiupkan ruh kepadanya maka dia menjadi hidup. Hal ini ditegaskan oleh Allah di dalam firmanNya:

وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ مِن صَلۡصَٰلٖ مِّنۡ حَمَإٖ مَّسۡنُونٖ ٢٦ 

Terjemahannya: "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk". (QS. Al Hijr : 26)

Ali Syari’ati menafsirkan tanah - sebagai salah satu unsur kejadian manusia - merupakan simbol kerendahan dan kenistaan, sedang unsur yang lain yaitu ruh Allah adalah simbol kemuliaan dan kesucian tertinggi.   Yusuf Qardawi - sebagaimana dikutip Jalaluddin Rahmat – membahasakan manusia adalah gabungan kekuatan tanah dan hembusan ruh Ilahi (baina qabdhat al-thin wa nafkhat al-ruh). Manusia adalah zatbidimensional (bersifat ganda) terdiri atas sifat material (jasmani) dan sifat spiritual (ruhani).  Sifat materialnya cenderung dan menarik manusia ke arah kerendahan, dan sifat spiritualnya mengarahkan dirinya menaiki puncak setinggi-tingginya. Satu hal yang menarik adalah kedua anasir yang bertentangan itu harus selalu berada dalam keseimbangan. Tidak boleh seseorang mengurangi hak-hak tubuh untuk memenuhi hak ruh. Begitu pula tidak boleh ia mengurangi hak-hak ruh untuk memenuhi hak tubuh.

Di lain ayat Allah SWT membandingkan antara penciptaan Nabi Isa dan Nabi Adam yang sama-sama berasal dari tanah, sebagaimana firman-Nya yang sebagai berikut:

إِنَّ مَثَلَ عِيسَىٰ عِندَ ٱللَّهِ كَمَثَلِ ءَادَمَۖ خَلَقَهُۥ مِن تُرَابٖ ثُمَّ قَالَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ ٥٩ 

Terjemahannya: “Sesungguhnya perumpamaan Isa di sisi Allah adalah semisal Adam. Allah menciptakan-Nya dari tanah, kemudian berfirman kepadanya, ‘Jadilah’ maka jadilah dia” (QS. Ali Imran : 59)

Ayat ini secara explisit merupakan bantahan terhadap para pengagum Nabi Isa as yang menilainya sebagai anak Tuhan, karena beliau tidak lahir melalui seorang ayah, melainkan melalui kalimat Allah. Tetapi secara implisit menjelaskan  kejadian Nabi Isa as yang semisal dengan kejadian Nabi Adam as yaitu diciptakan dari tanah melalui proses yang mudah dan cepat sesuai dengan kehendak Allah SWT. Kata ‘kun’ pada ayat di atas tidaklah benar bila dijadikan dasar bahwa Adam as diciptakan dalam sekejap tanpa proses sebagaimana yang difahami kebanyakan orang. Karena disamping dalam hal mencipta  Allah SWT, tidak memerlukan sesuatu apapun untuk mewujudkan apa yang dikehendaki-Nya, termasuk tidak perlu mengucapkan ‘kun’.

Kata ‘kun’ pada ayat di atas, disebutkan hanyalah sekedar untuk menggambarkan kemudahan dan kecepatan wujud apa yang dikehendaki Allah SWT. Dan ayat tersebut, sama sekali tidak menjelaskan apa yang terjadi dan proses apa yang dilalui antara penciptaan dari tanah dengan penghembusan ruh ciptaan-Nya. Jika diibaratkan penciptaan dari tanah sama dengan A, dan penghembusan ruh ciptaan-Nya sama dengan Z, maka antara A dan Z tidak dijelaskan baik materi maupun waktunya.

2. Proses Kejadian Manusia Kedua (Siti Hawa)

Pada dasarnya segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah di dunia ini selalu dalam keadaan berpasang-pasangan. Demikian halnya dengan manusia, Allah berkehendak menciptakan lawan jenisnya untuk dijadikan kawan hidup (istri).

Adapun proses kejadian manusia kedua ini oleh Allah dijelaskan di dalam surat An Nisaa’ ayat 1 :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا  

Terjemahannya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An Nisaa’: 1)

Para Mufassir terdahulu memahami kata ‘nafsin wahidah’ (diri yang satu) pada ayat ini dalam arti Adam as. Akan tetapi para Mufassir kontemporer seperti al-Qasimi, Syekh Muhammad Abduh memaknainya dalam arti jenis manusia lelaki dan wanita. Sehingga ayat ini kandungannya sama dengan firman Allah SWT :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣ 

Terjemahannya: “Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal” (QS. al-Hujurat : 13).

Dengan memaknai kata ‘nafsin wahidah’ dalam arti diri (jenis) yang satu, Thabathaba’i dalam tafsirnya menyatakan bahwa ayat tersebut juga memberi penegasan bahwa pasangan (isteri Adam) yang ditunjuk kata ‘zaujaha’ diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam yakni dari tanah dan hembusan ruh Ilahi. Menurutnya sedikitpun ayat itu tidak mendukung faham yang beranggapan bahwa Hawa  diciptakan dari tulang rusuk Adam sebagaimana yang difahami para Mufassir terdahulu.

Akan halnya hadis riwayat Abi Hazm dari Abi Hurairah ra yang kerap digunakan untuk memperkuat faham itu, selain tertolak kesahihannya sehingga tidak dapat digunakan hujjah (argumentasi), juga – sebagaimana mayoritas ulama kontemporer mengatakan - hadis tersebut tidaklah tepat jika difahami dalam pengertian harfiah, melainkan harus difahami dalam pengertian metafora. Maka konteksnya dalam rangka mengingatkan kepada kaum laki-laki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana, mengingat ada sifat dan kodrat bawaan mereka yang berbeda. Tidak ada seorangpun yang mampu mengubah kodrat bawaan itu. Kalaupun ada yang berusaha, maka akibatnya akan fatal seperti upaya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.

Walhasil makhluk yang bernama manusia, dari mulai manusia pertama Adam as dan istrinya Hawa, juga Isa as, serta generasi manusia setelahnya berasal dari bahan baku yang sama yaitu dari unsur tanah dan hembusan ruh Ilahi. Hanya model penciptaannya saja yang berbeda. Penciptaan manusia – sebagaimana disimpulkan Quraish Shihab – terdiri dari empat model penciptaan. Model pertama menciptakan dengan tanpa ayah dan ibu, yaitu Adam as. Kedua menciptakan setelah disampingnya ada lelaki, yaitu isteri Adam as. Model ketiga menciptakan hanya dengan  ibu tanpa ada ayah, yaitu Isa as. Dan yang terakhir menciptakan melalui pertemuan lelaki dan perempuan yaitu generasi manusia setelah Adam as.

Ayat-ayat diatas pula mengandung makna bahwa untuk manusia Allah menjadikan pasangannya dari jenis yang sama sehingga dapat terjadi rasa ketertarikan antara yang satu dengan yang lainnya untuk berkembang biak.

Apabila kita amati proses kejadian manusia kedua ini, maka secara tidak langsung hubungan manusia laki-laki dan perempuan melalui perkawinan adalah usaha untuk menyatukan kembali tulang rusuk (dalam arti metafora) yang telah dipisahkan dari tempat semula dalam bentuk yang lain. Dengan perkawinan itu maka akan lahirlah keturunan yang akan meneruskan generasinya.

3. Proses Kejadian Manusia Ketiga

Kejadian manusia ketiga adalah kejadian semua keturunan Adam dan Hawa kecuali Nabi Isa a.s. Dalam proses ini disamping dapat ditinjau menurut Al Qur’an dapat pula ditinjau secara medis. Di dalam Al Qur’an proses kejadian manusia secara biologis dijelaskan secara terperinci melalui firman-Nya, yaitu surat Al-Mu’minun dan surat Al-Haj sebagai berikut.

وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ مِن سُلَٰلَةٖ مِّن طِينٖ ١٢  ثُمَّ جَعَلۡنَٰهُ نُطۡفَةٗ فِي قَرَارٖ مَّكِينٖ ١٣ ثُمَّ خَلَقۡنَا ٱلنُّطۡفَةَ عَلَقَةٗ فَخَلَقۡنَا ٱلۡعَلَقَةَ مُضۡغَةٗ فَخَلَقۡنَا ٱلۡمُضۡغَةَ عِظَٰمٗا فَكَسَوۡنَا ٱلۡعِظَٰمَ لَحۡمٗا ثُمَّ أَنشَأۡنَٰهُ خَلۡقًا ءَاخَرَۚ فَتَبَارَكَ ٱللَّهُ أَحۡسَنُ ٱلۡخَٰلِقِينَ ١٤ 

Terjemahannya: “(12) Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. (13) Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). (14)Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik” (Q.S. Al-Mu’minun: 12-14)

Kata‘Sulalah min thin’ (saripati tanah) yang dimaksud – sebagaimana pendapat Thahir Ibn ‘Asyur – adalah zat yang diproduksi oleh alat pencernaan yang berasal dari bahan makanan (baik tumbuhan maupun hewan) yang bersumber dari tanah, yang selanjutnya menjadi darah, kemudian berproses hingga akhirnya menjadi sperma ketika terjadi hubungan badan (suami istri).

Pada surtat Al-Hajj ayat 5 fase ini disebutnya fase ‘turab’ (tanah). Pada ayat inipun yang dimaksud tanah adalah asal-usul sperma yaitu zat makanan yang berasal dari bahan makanan yang bersumber dari tanah.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِن كُنتُمۡ فِي رَيۡبٖ مِّنَ ٱلۡبَعۡثِ فَإِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن تُرَابٖ ثُمَّ مِن نُّطۡفَةٖ ثُمَّ مِنۡ عَلَقَةٖ ثُمَّ مِن مُّضۡغَةٖ مُّخَلَّقَةٖ وَغَيۡرِ مُخَلَّقَةٖ لِّنُبَيِّنَ لَكُمۡۚ وَنُقِرُّ فِي ٱلۡأَرۡحَامِ مَا نَشَآءُ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى ثُمَّ نُخۡرِجُكُمۡ طِفۡلٗا ثُمَّ لِتَبۡلُغُوٓاْ أَشُدَّكُمۡۖ وَمِنكُم مَّن يُتَوَفَّىٰ وَمِنكُم مَّن يُرَدُّ إِلَىٰٓ أَرۡذَلِ ٱلۡعُمُرِ لِكَيۡلَا يَعۡلَمَ مِنۢ بَعۡدِ عِلۡمٖ شَيۡ‍ٔٗاۚ وَتَرَى ٱلۡأَرۡضَ هَامِدَةٗ فَإِذَآ أَنزَلۡنَا عَلَيۡهَا ٱلۡمَآءَ ٱهۡتَزَّتۡ وَرَبَتۡ وَأَنۢبَتَتۡ مِن كُلِّ زَوۡجِۢ بَهِيجٖ ٥ 

Terjemahannya: “Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.” (Q.S. Al Haj : 5)

عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قالَ: حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ: إنَّ أَحَدَكُم يُجْمَعُ خلقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ، فَوَاللهِ الَّذِيْ لاَ إِلَهَ غُيْرُهُ، إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا. (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ)

Terjemahan: Dari Abu ‘Abdir-Rahman ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuturkan kepada kami, dan beliau adalah ash-Shadiqul Mashduq (orang yang benar lagi dibenarkan perkataannya), beliau bersabda,”Sesungguhnya seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah (bersatunya sperma dengan ovum), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) seperti itu pula. Kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) seperti itu pula. Kemudian seorang Malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya, dan diperintahkan untuk menulis empat hal, yaitu menuliskan rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya. Maka demi Allah yang tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Dia, sesungguhnya salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli surga, sehingga jarak antara dirinya dengan surga hanya tinggal sehasta, tetapi catatan (takdir) mendahuluinya lalu ia beramal dengan amalan ahli neraka, maka dengan itu ia memasukinya. Dan sesungguhnya salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli neraka, sehingga jarak antara dirinya dengan neraka hanya tinggal sehasta, tetapi catatan (takdir) mendahuluinya lalu ia beramal dengan amalan ahli surga, maka dengan itu ia memasukinya”. (Diriwayatkan oleh al Bukhari dan Muslim)

Makna asal kata ‘nuthfah’ dalam bahasa Arab berarti setetes yang dapat membasahi. Penggunaan kata ini sejalan dengan penemuan ilmiah yang menginformasikan bahwa pancaran mani yang menyembur dari alat kelamin pria yang mengandung sekitar dua ratus juta benih manusia, tetapi yang berhasil bertemu dengan ovum wanita hanya satu. Itulah yang dimaksud dengan nuthfah.

‘Alaqah’ (Segumpal darah) adalah salah satu arti kata ‘alaqah dari dua arti lainnya yaitu ‘sesuatu yang melayang’ dan ‘lintah’.  Seorang ilmuwan terkenal dalam bidang anatomi dan embriologi Prof. Keith Moore menyatakan bahwa ‘alaqah sebagai ‘sesuatu yang melayang’ sesuai dengan apa yang bisa dilihat pada pengikatan embrio - selama fase ini - pada rahim ibu. Dan ‘alaqah diartikan ‘segumpal darah’ atau ‘gumpalan darah yang membeku’ karena embrio selama fase ini berkembang melalui saat-saat internal yang diketahui seperti pembentukan darah di pembuluh tertutup sampai dengan putaran metabolis lengkap melalui plasenta(ari-ari). Selama fase ini darah  ditangkap di dalam pembuluh tertutup sehingga embrio memperoleh penampakan sebagai gumpalan darah beku. Sedang ‘alaqah diartikan ‘lintah’ oleh karena embrio selama fase ‘alaqah memperoleh penampakan yang sangat mirip dengan lintah. Prof. Keith Moore menguji dengan membandingkan lintah air yang masih segar dengan embrio pada fase ini dan beliau menemukan kesamaan diantara keduanya. Ketiga deskripsi tersebut secara ajaib diberikan hanya oleh sebuah kata dalam ayat al-Quran yaitu kata ‘alaqah.

‘Mudghah’ (segumpal daging). berasal dari kata madhagha yang berarti mengunyah. Pada fase ini embrio disebut mudhghah karena bentuknya masih dalam kadar yang kecil seukuran dengan sesuatu yang dikunyah.

‘Idzam (tulang atau kerangka). Pada fase ini embrio mengalami perkembangan dari bentuk sebelumnya yang hanya berupa segumpal daging hingga berbalut kerangka atau tulang. Kisa al-‘idzam bil-lahm (penutupan tulang dengan daging atau otot). Pengungkapan fase ini dengan kisa yang berarti membungkus, dan lahm (daging) diibaratkan pakaian yang membungkus tulang, selaras dengan kemajuan yang dicapai embriologi yang menyatakan bahwa sel-sel tulang tercipta sebelum sel-sel daging, dan bahwa tidak terdeteksi adanya satu sel daging sebelum terlihat sel tulang.

Insya  (mewujudkan makhluk lain). Fase ini mengisyaratkan bahwa ada sesuatu yang dianugerahkan kepada manusia yang menjadikannya berbeda dengan makhluk-makhluk lain. Sesuatu itu adalah ruh ciptaannya yang menjadikan manusia memiliki potensi yang sangat besar sehingga dapat melanjutkan evolusinya hingga mencapai kesempurnaan makhluk.

Al-Ghazali mengungkapkan proses penciptaan manusia dalam teori pembentukan (taswiyah) sebagai suatu proses yang timbul di dalam materi yang membuatnya cocok untuk menerima ruh. Materi itu merupakan sari pati tanah liat nabi Adam a.s. yang merupakan cikal bakal bagi keturunannya. Cikal bakal atau sel benih (nuthfah) ini yang semula adalah tanah liat setelah melewati berbagai proses akhirnya menjadi bentuk lain (khalq akhar) yaitu manusia dalam bentuk yang sempurna. Tanah liat berubah menjadi makanan (melalui tanaman dan hewan), makanan menjadi darah, kemudian menjadi sperma jantan dan indung telur. Kedua unsur ini bersatu dalam satu wadah yaitu rahim dengan transformasi panjang yang akhirnya menjadi tubuh harmonis (jibillah) yang cocok untuk menerima ruh. Sampai di sini prosesnya murni bersifat materi sebagai warisan dari leluhurnya. Kemudian setiap manusia menerima ruhnya langsung dari Allah disaat embrio sudah siap dan cocok menerimanya. Maka dari pertemuan antara ruh dan badan, terbentuklah makhluk baru manusia.

Ungkapan ilmiah dari Al Qur’an dan Hadits 15 abad silam telah menjadi bahan penelitian bagi para ahli biologi untuk memperdalam ilmu tentang organ-organ jasad manusia. Selanjutnya yang dimaksud di dalam Al Qur’an dengan "saripati berasal dari tanah" sebagai substansi dasar kehidupan manusia adalah protein, sari-sari makanan yang kita makan yang semua berasal dan hidup dari tanah. Yang kemudian melalui proses metabolisme yang ada di dalam tubuh diantaranya menghasilkan hormon (sperma), kemudian hasil dari pernikahan (hubungan suami istri), maka terjadilah pembauran antara sperma (lelaki) dan ovum (sel telur wanita) di dalam rahim. Kemudian berproses hingga mewujudkan bentuk manusia yang sempurna (seperti dijelaskan dalam ayat diatas).

Para ahli dari barat baru menemukan masalah pertumbuhan embrio secara bertahap pada tahun 1940 dan baru dibuktikan pada tahun 1955, tetapi dalam Al Qur’an dan Hadits yang diturunkan 15 abad lalu hal ini sudah tercantum. Ini sangat mengagumkan bagi salah seorang embriolog terkemuka dari Amerika yaitu Prof. Dr. Keith Moore, beliau mengatakan "Saya takjub pada keakuratan ilmiyah pernyataan Al Qur’an yang diturunkan pada abad ke-7 M itu". Selain itu beliau juga mengatakan, "Dari ungkapan Al Qur’an dan hadits banyak mengilhami para scientist (ilmuwan) sekarang untuk mengetahui perkembangan hidup manusia yang diawali dengan sel tunggal (zygote) yang terbentuk ketika ovum (sel kelamin betina) dibuahi oleh sperma (sel kelamin jantan).

Manusia terbentuk dari dua unsur diantaranya dari tanah dan dari tiupan luhur dari Allah SWT. Islam berpendapat bahwa bahan dasar kakek moyang manusia itu dari tanah, sementara bahan dasar kita ini adalah sperma yang hina. Hanya saja Allah SWT telah meniupkan roh-Nya. Di dalam diri kita, ada kehinaan dan ada pula kemuliaan. Tidak mungkin bisa dikatakan bahwa manusia itu hewan yang kotor. Bahkan, dia dimuliakan dengan tiupan Allah SWT.

Allah SWT telah menciptakan kakek moyang kita dengan tangan-Nya. Allah SWT juga memerintahkan para malaikat untuk sujud kepada-Nya. Hal yang lain adalah bahwa manusia lemah karena tercipta dari tanah yang dibasahi yang kemudian menjadi tanah liat, berbentuk, dan menjadi tanah liat yang kering. Tanah liat kering itu dibiarkan hingga mengering dan menjadi seperti tembikar. Seandainya tidak ada tiupan Allah SWT, tentu tembikar itu menjadi patung yang tak bernilai.

B. Rahasia Keragaman Terminologi Al-Qur’an tentang Manusia

Secara terminologis, ungkapan al-Qur’an untuk menunjukkan konsep manusia terdiri atas tiga kategori, yaitu: a) al-basyar, b) al-insan, al-in’s, unas, al-nas, anasiy dan insiy, dan c) bani Adam “anak Adam” dan Zurriyyat Adam “keturunan Adam”.

Meskipun terminologi manusia tersebut menunjukkan pada makna manusia, namun secara khusus memiliki penekanan pengertian yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada uraian berikut:

1. Al-Basyar

قُلۡ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٞ مِّثۡلُكُمۡ يُوحَىٰٓ إِلَيَّ

Terjemahannya: “Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku” (Q.S. Al-Kahfi: 110).

Penamaan manusia dengan kata al-Basyar dinyatakan dalam Al-Qur’an sebanyak 36 kali dan tersebar dalam 26 surat.  Secara etimologi al-basyar berarti kulit kepala, wajah, atau tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut. Penamaan ini menunjukkan makna bahwa secara biologis yang mendominasi manusia adalah pada kulitnya, dibanding rambut atau bulunya. Pada aspek ini terlihat perbedaan umum biologis manusia dengan hewan yang lebih didominasi bulu atau rambut. Al-Basyar, juga dapat diartikan mulasamah, yaitu persentuhan kulit antara laki-laki dengan perempuan.

Menurut M. Quraish Shihab, kata basyar terambil dari akar kata yang pada umumnya berarti menampakkan sesuatu dengan baik dan indah. Dari kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamakan basyarah karena kulitnya tampak jelas dan berbeda dengan kulit binatang lainnya. Al-Qur’an menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan 1 kali dalam bentuk mu£anna (dual) untuk menunjukkan manusia dari aspek lahiriah serta persamaannya dengan manusia seluruhnya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penelitian manusia dengan menggunakan kata basyar, Terjemahannya anak keturunan Adam banu Adam , mahkluk fisik atau biologis yang suka makan dan berjalan ke pasar. Aspek fisik itulah yang menyebut pengertian basyar mencakup anak keturunan Adam secara keseluruhan. Al-Basyar mengandung pengertian bahwa manusia akan berketurunan yaitu mengalami proses reproduksi dan senantiasa berupaya untuk memenuhi semua kebutuhan biologisnya, memerlukan ruang dan waktu, serta tunduk terhadap hukum alamiahnya, baik yang berupa sunnatullah (sosial kemasyarakatan), maupun takdir Allah (hukum alam).

2. Al-Insan

Salah satu ayat yang menggambarkan penyebutan manusia sebagai al-Insan adalah terdapat pada surat At-Thariq ayat 5 yaitu sebagai berikut:

فَلۡيَنظُرِ ٱلۡإِنسَٰنُ مِمَّ خُلِقَ ٥ 

Terjemahannya: “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan” (Q.S. At-Thariq: 5).

Adapun penamaan manusia dengan kata al-insan yang berasal dari kata al-uns, dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 73 kali dan tersebar dalam 43 surat. Secara etimologi, al-insan dapat diartikan harmonis, lemah lembut, tampak, atau pelupa.

Menurut Quraish Shihab, manusia dalam al-Qur’an disebut dengan al-Insan. Kata insan terambil dari kata uns yang berarti jinak, harmonis dan tampak. Pendapat ini jika ditinjau dari sudut pandang al-Qur’an lebih tepat dari yang berpendapat bahwa ia terambil dari kata nasiya (yang berarti lupa), atau nasa-yansu(yangberarti bergoncang). Kata insan digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan kepada manusia dengan seluruh totalitas, jiwa dan raga. Manusia berbeda antara seseorang dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental dan kecerdasannya.

Adapun kata al-Insan digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan totalitas manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Perpaduan antara aspek fisik dan psikis telah membantu manusia untuk mengekspresikan dimensi al-insan dan al-bayan, yaitu sebagai makhluk berbudaya yang mampu berbicara, mengetahui baik dan buruk, dan lain sebagainya.

Kata al-insan juga digunakan dalam al-Qur’an untuk menunjukkan proses kejadian manusia sesudah Adam. Kejadiannya mengalami proses yang bertahap secara dinamis dan sempurna di dalam di dalam rahim. Kata al-Insan yang digambarkan proses kejadian manusia dapat dillihat di dalam Al-Quran Surat al-Mukminun ayat 12.

3. Al-Nas

Kata al-Nas dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 240 kali dan tersebar dalam 53 surat. Kata al-nas menunjukkan pada eksistensi manusia sebagai makhluk hidup dan sosial, secara keseluruhan, tanpa melihat status keimanan atau kekafirannyaKata al-Nas dipakai al-Qur’an untuk menyatakan adanya sekelompok orang atau masyarakat yang mempunyai berbagai kegiatan (aktivitas) untuk mengembangkan kehidupannya.

Dalam menunjuk makna manusia, kata al-nas lebih bersifat umum bila dibandingkan dengan kata al-Insan. Keumumannya tersebut dapat di lihat dari penekanan makna yang dikandungnya. Kata al-Nas menunjuk manusia sebagai makhluk sosial dan kebanyakan digambarkan sebagai kelompok manusia tertentu yang sering melakukan mafsadah dan pengisi neraka, di samping iblis. Hal ini terlihat pada firman Allah QS. al-Baqarah (2): 24.

فَإِن لَّمۡ تَفۡعَلُواْ وَلَن تَفۡعَلُواْ فَٱتَّقُواْ ٱلنَّارَ ٱلَّتِي وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُۖ أُعِدَّتۡ لِلۡكَٰفِرِينَ ٢٤ 

Terjemahannya: “Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) -- dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.”

4. Bani Adam atau Dzurriyati Adam

Istilah Bani Adam menunjukkan bahwa seluruh manusia adalah anak dari manusia ciptaan Allah yang pertama yang bernama Adam. Firman Allah di dalam al-Quran.

وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِيٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ

Terjemahannya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka...” (QS. Al- A’raf, 7: 172).

Dalam al-Quran Allah berfirman untuk menjelaskan terminologi manusia dari kata Dzurriyat Adam salah satunya terdapat pada surat ayat di bawah ini.

أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّ‍ۧنَ مِن ذُرِّيَّةِ ءَادَمَ وَمِمَّنۡ حَمَلۡنَا مَعَ نُوحٖ 

Terjemahannya: “Mereka itu adalah orang-orang yang Telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang kami angkat bersama Nuh..." (QS. Maryam, 19: 58)

Istilah yang mirip dan memiliki pengertian yang sama dengan Bani Adam adalah Dzurriyati Adam. Adam digambarkan oleh Al- Qur’an sebagai makhluk manusia yang pertama kali. Disampingnya terdapat seorang perempuan yang diciptakan Allah SWT (Hawa namanya) untuk hidup berdampingan dengan Adam. Dari pernikahan Adam dan Hawa lahirlah bangsa manusia. Maka semua manusia adalah bani adam atau keturunan Adam.

Penggunaan istilah bani Adam dan Dzurriyati Adam dimaksudkan untuk menegaskan tentang asal usul yang jelas tentang manusia. Manusia bukanlah makhluk yang merupakan anak turun dari kera ataupun yang lain sebagaimana yang diungkapkan oleh ilmuwan yang menganut paham evolusionisme.

Dengan demikian, makna manusia dalam al-Qur’an dengan istilah al-basyar, al-insan, al-nas dan bani Adam mencerminkan karakteristik dan kesempurnaan penciptaan Allah terhadap makhluk manusia, bukan saja sebagai makhluk biologis dan psikologis melainkan juga sebagai makhluk religius, makhluk sosial dan makhluk bermoral serta makhluk kultural yang kesemuanya mencerminkan kelebihan dan keistimewaan manusia daripada makhluk-makhluk Tuhan lainnya.

C. Peran dan Tanggung Jawab Manusia


Penciptaan manusia di muka bumi ini mempunyai misi yang jelas dan pasti. Ada tiga misi yang bersifat given yang diemban manusia, yaitu misi yang pertama untuk beribadah atau mengabdi kepada Allah (a’bid) (QS. Adz-Dzariyat: 56), misi fungsional sebagai khalifah (QS. Al-Baqarah: 30), dan misi operasional untuk memakmurkan bumi (QS. Hud: 61).

Manusia sebagai a’bid; Terjemahannya hamba Allah, sebagai hamba Allah dimuka bumi memiliki tugas untuk mengabdi atau beribadah kepadaNya. Sebagaimana firmannya dalam Quran surat . Adz-Dzaariyat ayat 56:

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ٥٦ 

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku

Semua kehidupan manusia bertumpu untuk mencerminkan kepercayaan  “ Tauhid” dalam hidup dan kehidupan manusia, dalam wujud dan bentuk bidup dan kehidupan yang semata – mata untuk beribadah kepada Allah SWT. Dalam arti yang luas dan penuh, seperti makna pengertian ibadah dalam islam, “ibadah adalah Taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan mentaati segala perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan mengamalkan yang di izinkan-Nya. Ibadah dibagi kedalam dua bagian, yaitu:

  1. Ibadah khusus (makhdah) ialah apa yang telah ditetapkan Allah  perinciannya, tingkah dan tatacaranya tertentu. Contoh shalat, zakat, puasa, haji.
  2. Ibadah umum (ghairo makhdah)  ialah segala amalan yamg di izinkan oleh Allah SWT. termasuk segala  aktivitas manusia mengandung unsur ibadah, bila diniatkan dengan ikhlas karena Allah SWT.

Hal ini tercermin dalam hidup kita,pada saat hendak melaksanakan shalat. “Sesungguhnya shalatku,ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam.Tiada sekutu bagiNya,dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama kali menyerahkan diri (kepada Allah)”. (Q.S. Al-An’aam 162-163).

Secara harfiah, kata khalifah berarti wakil atau pengganti, dengan demikian misi utama manusia di muka bumi ini adalah sebagai wakil Allah SWT. Jika Allah adalah sang pencipta seluruh jagat raya ini maka manusia sebagai khalifah-Nya berkewajiban untuk memakmurkan jagat raya itu, utamanya bumi dan seluruh isinya, serta menjaganya dari kerusakan. Dalam Al-Quran Allah berfirman:

وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ قَالُوٓاْ أَتَجۡعَلُ فِيهَا مَن يُفۡسِدُ فِيهَا وَيَسۡفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحۡنُ نُسَبِّحُ بِحَمۡدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۖ قَالَ إِنِّيٓ أَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُونَ ٣٠ 

Terjemahannya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (Q.S. Al-Baqarah: 30).

Ketika manusia ingin diciptakan untuk menjadi wali Allah dimuka bumi, para malaikat memprotes itu. Namun Allah hanya berfirman kepada malaikat bahwa Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

Manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi mempunyai tugas menjaga keseimbangan dan ekosistemnya, tidak boleh membiarkan terjadinya kerusakan dan kehancuran.

Sebagai pemakmur,manusia dalam melaksanakan tugasnya.perlu pengenalan dan penguasaan ilmu pengetahuan berupa : 1)Mengenal bumi yang menjadi lingkungan wilayah yuridisnya. 2)Mengenal dan menggali rahasia-rahasia alam dan hukum yang ada di balik alam (takdir) dan hukumAllah yang tersembunyi (sunatullah). 3) Menjaga dan memelihara bumi dari kerusakan termasuk pencemaran lingkungan.Sebagai khalifah, manusia bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup di muka bumi.Oleh karena itu setiap manusia agar tidak kehilangan jati dirinya wajib menyingsingkan lengan untuk mengelola, memakmurkan bumi sekaligus melestarikannya . Firman Allah di dalam Al-Quran Surat Hud Ayat 61 sebagai berikut:

وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمۡ صَٰلِحٗاۚ قَالَ يَٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَٰهٍ غَيۡرُهُۥۖ هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلۡأَرۡضِ وَٱسۡتَعۡمَرَكُمۡ فِيهَا فَٱسۡتَغۡفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوٓاْ إِلَيۡهِۚ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٞ مُّجِيبٞ ٦١ 

Terjemahannya: Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)" (Q.S. Hud: 61).

D. Kesimpulan


Dari penjabaran pembahasan makalah Ayat-ayat tentang manusia, maka kami membuat tiga kesimpulan yaitu:

  1. Proses kejadian manusia terdiri atas proses kejadian manusia pertama (Nabi Adam), proses kejadian manusia kedua (Siti Hawa), dan Proses kejadian manusia ketiga (bani Adam).
  2. Secara termininlogi al-Qur’an menyebut manusia dengan istilah al-basyar, al-insan, al-nas dan bani Adam yang mencerminkan karakteristik dan kesempurnaan penciptaan Allah terhadap makhluk manusia, bukan saja sebagai makhluk biologis dan psikologis melainkan juga sebagai makhluk religius, makhluk sosial dan makhluk bermoral serta makhluk kultural yang kesemuanya mencerminkan kelebihan dan keistimewaan manusia dari pada makhluk-makhluk Tuhan lainnya.
  3. Penciptaan manusia di muka bumi ini mempunyai misi yang jelas dan pasti. Ada tiga misi yang bersifat given yang diemban manusia, yaitu misi yang pertama untuk beribadah atau mengabdi kepada Allah (a’bid), misi fungsional sebagai khalifah, dan misi operasional untuk memakmurkan bumi.

Daftar Pustaka

Abdullah bin Muhammad bin Abdurrohman bin Ishak Alu Syaikh, Dr. Tafsir Ibnu Katsir - Lubaabut Tafsir Min Ibni Katsiir, Diterjemahkan Oleh M. Abdul Ghoffar. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i. 2009
Aladawiyah, Mudrikah. “Terminologi Manusia dalam Al Qur’an beserta Ayat-ayat nya,” Kompasiana Fiksiana. http://fiksiana.kompasiana.com/mudrikah_aladawiyah/terminologi-manusia-dalam-al-qur-an-beserta-ayat-ayat-nya_565542d379937386068b4584 (30 November 2016)
Asy’ari, Musa. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an. Cet. I. Yogyakarta: LESFI. 1992
Daniel Djuned, Antropologi al-Qur’an. Jakarta: Erlangga. 2011
Hisham Thalbah, Ensiklopedia Mukjizal Al-Qur’an Dan  Hadits, Bekasi: Sapta Sentosa 2008
Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, Bandung: Mizan. 1991
Jafar Musaddad, “Manusia dalam Perspektif Al-Quran,” Blog Jafar Musaddad. http://jafarmusaddad.blogspot.co.id/2013/02/makalah-manusia-dalam-perspektif-al.html (30 November 2016)
Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-Karim. Qahirah : Dar al-Hadits. 1988
Rajabi, Mahmoud. Horison Manusia, Al-Huda : 2006
Raharjo, Dawam. Pandangan al-Qur’an Tentang Manusia Dalam Pendidikan Dan Perspektif al-Qur’an. Yogyakarta: LPPI. 1999
Sang Pencerah, “Peran dan Tugas Manusia di Muka Bumi” Sang Pencerah The Muhammadiyah Post. http://sangpencerah.id/2013/10/peran-dan-tugas-manusia-di-muka-bumi.html (30 November 2016)
Syariati, Ali. Sosiologi Islam, terjemahan dari On the Sociology of Islam, Ananda I : 1982
Sihab, Quraish M., Tafsir Al-Mishbah Vol 2,Jakarta: Lentera Hati. 2002
Sihab, Quraish M., Tafsir Al-Mishbah Vol 9,Jakarta: Lentera Hati. 2002
Sihab, Quraish M., Tafsir Al-Mishbah Vol 10,Jakarta: Lentera Hati. 2002
Sihab, Quraish M., Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudu’i atas Berbagai Persoalan Umat Bandung : Mizan. 1998

Posting Komentar untuk "Manusia dalam Pandangan Al-Quran"