Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Anak dalam Keluarga Menurut Pandangan Islam

Anak dalam Keluarga Menurut Pandangan Islam

Anak dalam Keluarga dalam Pandangan Islam. Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam berfungsi sebagi petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa, petunjuk disini bermakna umum, Terjemahannya al-Qur’an selain menjadi petunjuk ke jalan yang benar dan diridloi oleh Allah dan akan mengantarkan kebahagiaan di akherat juga bermakna sebagai petunjuk dalam menapaki kehidupan di dunia.  Karena pada hakekatnya islam selalu mengajarkan umatnya untuk selalu menggapai kebahagiaan hidup didunia dan akherat.

Sebagai kitab dan undang-undang yang diturunkan oleh Allah kepada nabi Muhammad SAW untuk seluruh umat manusia,  al-Qur’an telah memberi gambaran yang lengkap (Maa farothna fil khitabi minsyai) kepada pribadi dan kelompok manusia. Rasulullah SAW hanya bertindak sebagai penerima al-Qur’an, bertugas menyampaikan petunjuk-petunjuk tersebut, mensucikan dan mengajarkan kepada manusia.

هُوَ ٱلَّذِي بَعَثَ فِي ٱلۡأُمِّيِّ‍ۧنَ رَسُولٗا مِّنۡهُمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمۡ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبۡلُ لَفِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٖ ٢

Terjemahannya: Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata (Q.S. Al-Jumu’ah).

Mensucikan dapat diidentikan dengan mendidik, sedangkan mengajar tidak lain kecuali mengisi benak anak didik dengan pengetahuan yang berkaitan dengan alam metafisika dan fisika.  Tujuan yang ingin dicapai dari pembacaan, penyucian dan pengajaran tersebut adalah pengabdian kepada Allah sejalan dengan tujuan penciptaan manusia yang ditegaskan oleh Allah SWT didalam Al-Qur’an surat Al-Dzariat ayat 56.

Pendidikan kepada anak-anak sangat penting karena anak adalah amanat, sehingga perlu kesalehan dan ketelatenan tersendiri dalam mendidiknya.  Pendidikan pada masa anak-anak juga akan membangun fondasi bagi tegaknya kepribadian yang sempurna, sebab pendidikan pada masa kecil akan jauh lebih membekas dalam membentuk kepribadiaanya daripada pendidikan yang diperoleh pada masa dewasa.  Dengan demikian maka orang tua memiliki peran yang sangat penting didalam mengantarkan anak-anaknya mencapai kesuksesan dunia dan akherat, sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadits:

كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه اوينصرانه أويمجسانه

Terjemahannya : “Setiap anak yang lahir, dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (HR. Thabrani dan Baihaqi).

A. Terminologi Anak Dalam Al-Quran


Untuk mengetahui aksentuasi makna, berkaitan dengan istilah yang secara beragam dipakai al-Qur’an, maka perlu ditelusuri satupersatu, apa saja istilah yang dipakai al-Qur’an untuk menyebut anak. Sejauh penelusuran penulis, setidaknya ada tujuh istilah, yaitu:

1. Anak dengan Term Al-Walad

Kata al-walad dalam terminilogi Al-Quran untuk menyebut anak dapat kita temukan di berbagai ayat al-Qur’an, diantaranta yaitu pada surat al-Balad ayat 3 sebagai berikut:

 وَوَالِدٖ وَمَا وَلَدَ ٣

Terjemahannya: Dan demi bapak dan anaknya. (Q.S. Al-Balad: 3)

Dalam bahasa arab, kata walad merupakan isim mufrod yang hanya ditujukan kepada seorang anak, sedangkan isim jamaknya (untuk menunjukkan banyak) adalah awlad. Salah satu ayat al-Quran yang menunjukkan kata awlad adalah sebagai berikut.

وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّمَآ أَمۡوَٰلُكُمۡ وَأَوۡلَٰدُكُمۡ فِتۡنَةٞ وَأَنَّ ٱللَّهَ عِندَهُۥٓ أَجۡرٌ عَظِيمٞ ٢٨

Terjemahannya : Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. (Al-Anfal: 28)

Al-Qur’an sering menggunakan kata al-walad untuk menyebut anak. Kata al-walad dengan segala bentuk derivasinya dipakai dalam al-Qur’an sebanyak enam puluh lima kali. Kata walad yang bentuk jamaknya adalah awlâd dalam bahasa Arab berarti anak yang dilahirkan oleh orang tuanya, baik ia berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan, baik sudah besar maupun masih kecil.

Dalam al-Qur’an, kata walad dipakai untuk menggambarkan adanya hubungan keturunan atau nasab antara anak dan orang tuanya. Itu sebabnya, kata wâlid dalam bahasa Arab berarti ayah yang memiliki hubungan nasab dengan anaknya (baca: ayah kandung). Demikian pula, kata wâlidah yang berarti perempuan yang melahirkan, yakni ibu kandung.

Lebih lanjut, dari kata walad secara morfologis dapat memunculkan kata wallada, berarti melahirkan, atau juga bisa berarti ansya’a (menumbuhkan) dan rabbâ (mengembangkan).

Al-Qur’an misalnya, memerintahkan agar sang ibu memberi ASI (Air Susu Ibu) ketika anak masih bayi hingga umur dua tahun.

وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُۥ وَهۡنًا عَلَىٰ وَهۡنٖ وَفِصَٰلُهُۥ فِي عَامَيۡنِ أَنِ ٱشۡكُرۡ لِي وَلِوَٰلِدَيۡكَ إِلَيَّ ٱلۡمَصِيرُ

Terjemahannya: Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (Q.S. Lukman: 14).

Bahkan menurut Imam al-Qurthubî (w. 671 H), hal itu wajib hukumnya bagi seorang ibu, jika tidak mengalami hambatan dalam menyusui bayinya.  Selain itu kata walad juga menggambarkan hubungan antara anak dengan orang tua baik itu hubungan yang positif maupun negatif.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّ مِنۡ أَزۡوَٰجِكُمۡ وَأَوۡلَٰدِكُمۡ عَدُوّٗا لَّكُمۡ فَٱحۡذَرُوهُمۡۚ وَإِن تَعۡفُواْ وَتَصۡفَحُواْ وَتَغۡفِرُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ ١٤

Terjemahannya: Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S. al-Tagabun: 14)

2. Anak dengan Term Al-Thifil

Kata thifil bentuk jamaknya athfâl dalam al-Qur’an terulang sebanyak lima kali, yaitu pada Q.S al-Nur: 31 dan 59, al-Hajj: 5, al-Mukmin: 67, Gafir: 67. Secara semantis, kata thifl berarti al-maulûd alshagîr (bayi yang baru dilahirkan yang masih kecil). Demikian kata pakar lingustik Abul Husain Ahmad Ibn Fâris dalam Mu’jam Maqâyîs al-Lughah.

Lebih lanjut, al-Qur’an menyebut anak dengan term al-thifl setidaknya dalam empat konteks, yaitu:

Pertama, ketika anak baru saja dilahirkan oleh ibunya, yang berarti ia masih menjadi bayi, sebagaimana firman Allah:

...وَنُقِرُّ فِي ٱلۡأَرۡحَامِ مَا نَشَآءُ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى ثُمَّ نُخۡرِجُكُمۡ طِفۡلٗا ثُمَّ لِتَبۡلُغُوٓاْ أَشُدَّكُمۡۖ ...

Terjemahannya: Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, … (Q.S. al-Hajj: 5)

Kedua, ketika anak belum dewasa, sebagaimana firman Allah SWT.

وَإِذَا بَلَغَ ٱلۡأَطۡفَٰلُ مِنكُمُ ٱلۡحُلُمَ فَلۡيَسۡتَ‍ٔۡذِنُواْ كَمَا ٱسۡتَ‍ٔۡذَنَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمۡ ءَايَٰتِهِۦۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٞ ٥٩

Terjemahannya: Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayatayatNya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. al-Nur: 59)

Ketiga, kata thifl dipakai dalam konteks anak yang baru dalam fase perkembangan sebelum ia dewasa, di mana ia belum “mengenal tentang aurat perempuan. Terjemahannya, anak itu belum punya daya tarik terhadap kaum perempuan, sehingga dalam alQur’an, dinyatakan bahwa perempuan lain yang bukan mahramnya boleh terlihat olehnya. Sebagaimana firman Allah SWT:

وَقُل لِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ وَلۡيَضۡرِبۡنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّۖ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوۡ ءَابَآئِهِنَّ أَوۡ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآئِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِيٓ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِيٓ أَخَوَٰتِهِنَّ أَوۡ نِسَآئِهِنَّ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُنَّ أَوِ ٱلتَّٰبِعِينَ غَيۡرِ أُوْلِي ٱلۡإِرۡبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفۡلِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يَظۡهَرُواْ عَلَىٰ عَوۡرَٰتِ ٱلنِّسَآءِۖ وَلَا يَضۡرِبۡنَ بِأَرۡجُلِهِنَّ لِيُعۡلَمَ مَا يُخۡفِينَ مِن زِينَتِهِنَّۚ وَتُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ٣١

Terjemahannya: Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (Q.S al-Nur: 31)

Keempat, Kata al-thifl juga digunakan untuk anak yang baru lahir dengan proses penciptaannya hingga wafat. Sebagaimana firman-Nya dalam al-Quran.

هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن تُرَابٖ ثُمَّ مِن نُّطۡفَةٖ ثُمَّ مِنۡ عَلَقَةٖ ثُمَّ يُخۡرِجُكُمۡ طِفۡلٗا ثُمَّ لِتَبۡلُغُوٓاْ أَشُدَّكُمۡ ثُمَّ لِتَكُونُواْ شُيُوخٗاۚ وَمِنكُم مَّن يُتَوَفَّىٰ مِن قَبۡلُۖ وَلِتَبۡلُغُوٓاْ أَجَلٗا مُّسَمّٗى وَلَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ ٦٧

Terjemahannya: Dialah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya) (Q.S. Ghafir: 67).

Ayat tersebut memberikan gambaran tentang proses penciptaan seorang bayi, kelahiran bayi, tumbuh kembangnya menjadi dewasa hingga tua dan akhirnya diwafatkan oleh Allah. Pada poin keempat ini penjelasannya sudah merangkum ketiga poin di atas, yaitu tentang siklus kehidupan seorang anak hingga meninggal.

3. Anak dengan Term Al-Ibn

Al-Qur’an juga menggunakan term kata ibn bentuk jamaknya adalah abnâ’ dan banûn untuk menyebut anak. Kata ibn ini dengan segala bentuk derivasinya terulang sampai 161 kali.

Kata ibn atau jamaknya abna dan banun dalam al-Qur’an dapat merujuk kepada penegrtian anak kandung Misalnya, ketika al-Qur’an menyebut Nabi Isa sebagai anak laki-laki Maryam (Q.S. al-Maidah: 78), ketika Nabi Nuh memanggil anaknya agar ikut naik perahunya (Q.S. Hûd : 42) dan ketika Nabi Ya’qub menanyakan keimanan anak-anaknya sepeninggal beliau nanti.

أَمۡ كُنتُمۡ شُهَدَآءَ إِذۡ حَضَرَ يَعۡقُوبَ ٱلۡمَوۡتُ إِذۡ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعۡبُدُونَ مِنۢ بَعۡدِيۖ قَالُواْ نَعۡبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ ءَابَآئِكَ إِبۡرَٰهِ‍ۧمَ وَإِسۡمَٰعِيلَ وَإِسۡحَٰقَ إِلَٰهٗا وَٰحِدٗا وَنَحۡنُ لَهُۥ مُسۡلِمُونَ ١٣٣

Terjemahannya: Adakah kamu hadir ketika Ya´qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya" (Q.S. Al-Baqarah: 133).

Namun demikian, kata ibn, juga dapat menunjuk pada pengertian anak laki-laki yang tidak ada hubungan nasab, yakni anak angkat. Contohnya, pernyataan orang-orang jahiliyah yang menisbatkan anak angkatnya dengan term abnâ’ seolah-olah seperti anaknya sendiri. Dalam al-Qur’an, perilaku seperti itu tidak diperbolehkan sehingga dikritik al-Qur’an.

Perhatikan pula firman Allah SWT., berfirman:

...وَمَا جَعَلَ أَدۡعِيَآءَكُمۡ أَبۡنَآءَكُمۡۚ ذَٰلِكُمۡ قَوۡلُكُم بِأَفۡوَٰهِكُمۡۖ ...

Terjemahannya:“… dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja…” (Q.S al-Ahzâb: 4)

Sehubungan dengan kata dengan ibn, al-Qur’an kadang juga menggunakan bentuk isim tashghir, sehingga kata ibn akan berubah menjadi bunayy, yang menunjukkan bahwa anak itu secara fisik memang masih kecil, dan dapat pula menunjukkan adanya hubungan kedekatan (al-iqtirâb).  Dalam al-Qur’an, kata tersebut (yâ bunayya) terulang sampai 7 (tujuh) kali.

4. Anak dengan Term Al-Bint

Dalam al-Qur’an ketika disebut bint bentuk jamaknya banât berarti merujuk pada pengertian anak perempuan. Kata tersebut dengan berbagai macam bentuknya, terulang dalam al-Qur’an sebanyak 19 (sembilan belas) kali. Berkaitan dengan masalah anak perempuan, al-Qur’an memberikan informasi tentang bagaimana orang-orang Arab jahiliyah memandang dan memperlakukan anak-anak perempuan.  Misalnya, mereka menganggap anak perempuan sebagai aib keluarga dan mereka suka mengubur anak perempuan dalam keadaan hidup-hidup.

 وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُم بِٱلۡأُنثَىٰ ظَلَّ وَجۡهُهُۥ مُسۡوَدّٗا وَهُوَ كَظِيمٞ ٥٨ يَتَوَٰرَىٰ مِنَ ٱلۡقَوۡمِ مِن سُوٓءِ مَا بُشِّرَ بِهِۦٓۚ أَيُمۡسِكُهُۥ عَلَىٰ هُونٍ أَمۡ يَدُسُّهُۥ فِي ٱلتُّرَابِۗ أَلَا سَآءَ مَا يَحۡكُمُونَ ٥٩

Terjemahannya: (58) Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. (59) Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. (Q.S. al Nahl 58-59).

Al-Qur’an jelas mengecam tindakan tersebut sebagai kejahatan, dosa besar dan kebodohan. Al-Qur’an sendiri sangat apresiatif terhadap keberadaan anak perempuan. Ia tidak boleh dibunh, melainkan harus dipelihara dan diperlakukan secara adil sebagaimana perlakuan orangtua terhadap anak-anak laki. AlQur’an juga memuji-muji seorang perempuan (dalam kisah Maryam) yang pandai menjaga farjinya sebagaimana dijelaskan dala Quran surat at-Tahrim ayat 12.

5. Anak dengan Term Dzuriyyah

Al-Qur’an juga menggunakan kata dzurriyyah untuk menyebut anak cucu atau keturunan. Kata tersebut terulang dalam al-Qur’an sampai 32 (tiga puluh dua) kali. Kata tersebut masih derivasi dari kata dzarra yang makna asalnya kelembut dan menyebar.

Penyebutan dzurriyah dalam al-Qur’an sebagian besar ayatnya berkaitan dengan masalah harapan atau doa orangtua untuk memperoleh anak cucu keturunan yang baik. Sebagian lagi berkaitan dengan peringatan Allah agar jangan sampai meninggalkan anak-anak yang bermasalah, dan sebagian yang lain berkaitan dengan masalah balasan yang akan diterima oleh orangtua yang memiliki anak-anak yang tetap kokoh dalam keimanannya.

Penyebutan kata dzurriyah dalam bentuk mufrad (tunggal) dalam al-Qur’an, ada yang berkonotasi positif dan adapula yang berkonotasi negatif, seperti dzurriyyah dli’afa’ (anak-anak atau keturunan yang lemah) dalam Q.S. alNisâ’: 9.

وَلۡيَخۡشَ ٱلَّذِينَ لَوۡ تَرَكُواْ مِنۡ خَلۡفِهِمۡ ذُرِّيَّةٗ ضِعَٰفًا خَافُواْ عَلَيۡهِمۡ فَلۡيَتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡيَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدًا ٩

Terjemahannya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (Q.S al-Nisâ’: 9)

Sedangkan ayat yang berkonotasi positif, contohnya ketika Nabi Zakariyya berdoa kepada Allah Swt agar diberi keturunan anak yang yang baik (dzurriyyah thayyibah):

هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهُۥۖ قَالَ رَبِّ هَبۡ لِي مِن لَّدُنكَ ذُرِّيَّةٗ طَيِّبَةًۖ إِنَّكَ سَمِيعُ ٱلدُّعَآءِ ٣٨

Terjemahannya: Di sanalah Zakariya mendo`a kepada Tuhannya seraya berkata: "Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do’a." (Q.S. Ali Imran: 38)

6. Anak dengan Istilah Hafadah

Dalam al-Qur’an, term hafadah bentuk jamak dari hâfid, dipakai untuk menunjukkan pengertian cucu (al-asbâth) baik untuk cucu yang masih hubungan kerabat atau orang lain. Kata tersebut merupakan derivasi dari kata hafada yang berarti berkhidmah (melayani) dengan cepat dan tulus.  Ini memberikan isyarat bahwa anak cucu sudah semestinya nanti dapat berkhidmad kepada orang tuanya secara tulus, mengingat orangtualah yang menjadi sebab bagi kita semua, sebagai anak-anak dan cucu terlahir ke dunia.  Dalam konteks ini al-Qur’an menyatakan:

وَٱللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا وَجَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَزۡوَٰجِكُم بَنِينَ وَحَفَدَةٗ وَرَزَقَكُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِۚ أَفَبِٱلۡبَٰطِلِ يُؤۡمِنُونَ وَبِنِعۡمَتِ ٱللَّهِ هُمۡ يَكۡفُرُونَ ٧٢

Terjemahannya: Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?" (Q.S. al-Nahl: 72)

7. Anak dengan Istilah al-Shabiyy

Kata shabiyy secara semantis berarti shigar al-sinn (anak yang masih kecil umurnya). Kata tersebut terulang dua kali dalam alQur’an. Pertama, ketika Allah SWT., menyuruh Yahya untuk mempelajari kitab Taurat sebagaimana firman-Nya.

يَٰيَحۡيَىٰ خُذِ ٱلۡكِتَٰبَ بِقُوَّةٖۖ وَءَاتَيۡنَٰهُ ٱلۡحُكۡمَ صَبِيّٗا ١٢

Terjemahannya: Wahai Yahya, ambillah al-Kitab (Taurah) dengan kuat dan Kami memberinya hikmah di waktu masih anak-anak. (Q.S. Maryam: 12)

Kedua, ketika Nabi Isa a.s berbicara waktu bayi dalam ayunan sebagimana firman Allah SWT. di dalam Al-Quran

فَأَشَارَتۡ إِلَيۡهِۖ قَالُواْ كَيۡفَ نُكَلِّمُ مَن كَانَ فِي ٱلۡمَهۡدِ صَبِيّٗا ٢٩

Terjemahannya: Maka Maryam menunjuk kepada anaknya. mereka berkata: "Bagaimana Kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih di dalam ayunan?" (Q.S Maryam:29)

Al-Qur’an menggunakan term shabiyy untuk menunjuk pada pengertian anak kecil yang masih dalam ayunan. Sebab ketika itu Nabi Isa disuruh ibunya berbicara dan menjelaskan tentang hal keadaannya (yakni ibunya hamil dan punya anak, tanpa suami) kepada orang Yahudi, ia masih dalam keadaan menetek ibunya, ketika mendengar perintah ibunya, ia lalu melepaskan puting susu ibunya dan berbicara bahwa sesungguhnya saya (Isa) adalah hamba Allah yang diciptakan tanpa ayah…” Demikian kurang lebih penjelasan al-Râzi dalam al-Tafsîr al-Kabîr.

8. Anak dengan Term al-Ghulam

Al-Qur’an juga menggunakan kata al-ghulâm dalam berbagai bentuknya diulang 13 kali dalam al-Qur’an, yaitu Ali Imrân: 40, Yusuf: 19, al-Hijr: 53, al Kahfi: 80, Maryam 7-8 dan 20, alShaffât: 101 dan al-Dzariyât: 28. Kata ghulâm dalam al-Qur’an ada yang dipakai setidaknya dalam dua konteks.

Pertama, untuk menyebut anak kecil atau bayi misalnya dalam kisah Nabi Zakariyya a.s. ketika beliau merasa tidak akan mungkin punya anak lagi, karena merasa dirinya sudah tua dan istrinya ‘mandul’. Perhatikan firman Allah SWT:

قَالَ رَبِّ أَنَّىٰ يَكُونُ لِي غُلَٰمٞ وَكَانَتِ ٱمۡرَأَتِي عَاقِرٗا وَقَدۡ بَلَغۡتُ مِنَ ٱلۡكِبَرِ عِتِيّٗا ٨

Terjemahannya: Zakaria berkata: "Ya Tuhanku, bagaimana akan ada anak bagiku, Padahal isteriku adalah seorang yang mandul dan aku (sendiri) Sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua". (Q.S. Maryam: 8)

Kedua, kata ghulâm juga bisa berarti seorang anak muda, yang diperkirakan umurnya 14-21 tahun. Sebagaimana tersirat dalam salah satu firman Allah terkait dengan kisah Nabi Yusuf a.s:

وَجَآءَتۡ سَيَّارَةٞ فَأَرۡسَلُواْ وَارِدَهُمۡ فَأَدۡلَىٰ دَلۡوَهُۥۖ قَالَ يَٰبُشۡرَىٰ هَٰذَا غُلَٰمٞۚ وَأَسَرُّوهُ بِضَٰعَةٗۚ وَٱللَّهُ عَلِيمُۢ بِمَا يَعۡمَلُونَ ١٩

Terjemahannya: Kemudian datanglah kelompok orang-orang musafir, lalu mereka menyuruh seorang pengambil air, maka dia menurunkan timbanya, dia berkata: "Oh; kabar gembira, ini seorang anak muda!" Kemudian mereka menyembunyikan dia sebagai barang dagangan. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. (Q.S. Yusuf : 19).

Kata ghulâm secara semantis berarti anak yang sudah mulai puber dan berkobar nafsu syahwatnya. Itu sebabnya dalam bahasa Arab al-ghulmah berarti nafsu birahi. Ketika anak memasuki usia pubertas dan nafsu syahwat mulai memuncak, diperlukan perhatian dan kasih sayang dari para orangtua. Orang tua harus lebih terbuka dan komunikatif dengan anaknya, sehingga anak tidak mencari solusi di luar keluarga, yang boleh jadi akan membahayakan dirinya.

B. Kedudukan Anak dan Hak-hak Anak dalam Al-Quran


1. Kedudukan Anak dalam Al-Quran

Kedudukan anak dalam Al-Qur'an dapat dipahami dari dua segi yang melekat pada dirinya, yaitu:

a. Anak sebagai qurrata a'yun

وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبۡ لَنَا مِنۡ أَزۡوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعۡيُنٖ وَٱجۡعَلۡنَا لِلۡمُتَّقِينَ إِمَامًا ٧٤

Terjemahannya: Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa (Q.S. al-Furqan: 74)

Kata qurrata a'yun secara leksikal, sebagaimana terungkap dalam Al-Qur'an Surat al-Furqan ayat 74 di atas bermakna "penyenang hati". Dalam Kamus al-Munawwir, kata ini bermakna biji mata, kesayangan, atau kekasih. Dalam Kamus al-Munjid, dijelaskan lebih lengkap bahwa maksud dari qurrata a'yun adalah gembira melihat sesuatu yang menyenangkan.

b. Anak sebagai Zuyyinah

Maksudnya, kedudukan anak adalah seperti hiasan hidup bagi orangtuanya sebab kata zuyyinah secara bahasa berarti menghiasai atau mempercantik.  Dalam konteks ini Al-Qur'an menyejajarkan posisi anak dengan harta sebagai sesuatu yang disenangi manusia pada umumnya. Dalam Surat al-Kahfi [18] ayat 46:

ٱلۡمَالُ وَٱلۡبَنُونَ زِينَةُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ ....

Terjemahannya: Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia….

Ayat tersebut, dapat dipahami bahwa diibaratkan sebagai perhiasan, berarti anak merupakan sumber kecintaan. Lazimnya sesuatu yang dicintai, maka ia mesti dijaga sepenuh hati. Begitu pula dengan keberadaan anak di mata orangtua.

c. Anak sebagai Zuriyyah (pewaris)

Firman Allāh SWT tentang zuriyah dapat dilihat pada ayat berikut ini:

وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ إِحۡسَٰنًاۖ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُۥ كُرۡهٗا وَوَضَعَتۡهُ كُرۡهٗاۖ وَحَمۡلُهُۥ وَفِصَٰلُهُۥ ثَلَٰثُونَ شَهۡرًاۚ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُۥ وَبَلَغَ أَرۡبَعِينَ سَنَةٗ قَالَ رَبِّ أَوۡزِعۡنِيٓ أَنۡ أَشۡكُرَ نِعۡمَتَكَ ٱلَّتِيٓ أَنۡعَمۡتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَٰلِدَيَّ وَأَنۡ أَعۡمَلَ صَٰلِحٗا تَرۡضَىٰهُ وَأَصۡلِحۡ لِي فِي ذُرِّيَّتِيٓۖ إِنِّي تُبۡتُ إِلَيۡكَ وَإِنِّي مِنَ ٱلۡمُسۡلِمِينَ ١٥

Terjemahannya: Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila Dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri. (QS. Al-Ahqāf: 15)

Sayyid Quthb (2004) memaparkan bahwa kalimat “berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku” merupakan permohonan keinginan hati seorang mukmin agar amal salehnya sampai kepada keturunannya dan agar qalbunya merasa senang jika keturunannya beribadah kepada Allāh dan mencari keridhaan-Nya.

Sedangkan Aam Abdussalam memaparkan, bahwa menjadi kepastian bagi anak ketika berada di lingkungan rumahnya untuk membaca dan menangkap penampilan orang tua secara keseluruhan. Baik fisik maupun non fisiknya. Seperti sifat semangat dan malasnya orang tua, komitmen dan integritas moral orang tua, sehingga apa yang ditampilkan oleh orang tua di hadapan anaknya akan ditangkap dan tentu saja akan menjadi warisan untuk anak (Rumah Cahaya, 2014).

d. Anak sebagai ‘aduwan

‘Aduwan merupakan bentukan kata dari huruf ا – د – ع yang memiliki beragam makna apabila mengalami perubahan bentuk kata. Di antaranya: musuh, permusuhan, memusuhi, menganiaya, melampaui batas, menjauhkan, saling bermusuhan, membenci, kebencian, berselisih, dll (Munawwir, 1997)

Keterangan anak sebagai ‘aduwan dapat ditemukan dalam QS. Al-Tagābun ayat 14:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّ مِنۡ أَزۡوَٰجِكُمۡ وَأَوۡلَٰدِكُمۡ عَدُوّٗا لَّكُمۡ فَٱحۡذَرُوهُمۡۚ وَإِن تَعۡفُواْ وَتَصۡفَحُواْ وَتَغۡفِرُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ ١٤

Terjemahannya: Hai orang-orang mukmin, Sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) Maka Sesungguhnya Allāh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Aam Abdussalaam dalam Rumah Cahaya (2014) menerangkan bahwa seorang anak masuk surga atau masuk neraka itu ada hubungannya dengan orang tua. Kalau seorang bapak membimbing anaknya, menjaga dan melindunginya karena khawatir terjerumus pada neraka akhirat itu jauh lebih penting. Karena saat ini orang tua memiliki kecenderungan khawatir kepada duniawinya anak. Tidak sedikit seorang anak yang menelantarkan orang tuanya, itu bukan salah anak sendiri. Itu karena orang tuanya sejak kecil hanya memberikannya perhatian, anaknya hanya dijadikan kebanggaan tanpa disertai dengan pengendalian atau sentuhan nilai-nilai moral. Hingga kelak seorang anak bisa menjadi musuh kedua orang tuanya di hari pembalasan.

Baca selanjutnya: Anak dalam Keluarga Menurut Pandangan Islam Part 2

Posting Komentar untuk "Anak dalam Keluarga Menurut Pandangan Islam"